Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar IPB: Mensos Risma Harus Perbarui Data Penerima Bantuan

Kompas.com - 01/02/2021, 19:30 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, Ali Khomsan menyoroti persoalan sosial yang akan dihadapi oleh Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini dalam beberapa tahun ke depan.

Menurutnya, ada banyak hal yang harus dibenahi oleh Mensos Risma, termasuk data penerima bantuan yang tak pernah diperbarui sejak 2015.

Baca juga: Pakar UGM: Aksi Blusukan Mensos Risma Tidak Tepat

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional pada Maret 2020 adalah Rp 454.652 per kapita per bulan.

Sedangkan garis kemiskinan Bank Dunia adalah 1,9 dollar AS per kapita per hari atau setara Rp 798.200 per bulan (kurs Rp 14.000).

Dia menyebutkan, jikalau rumah tangga terdiri empat orang, untuk kriteria Bank Dunia perlu minimal penghasilan Rp 3.192.800 per bulan, agar tidak disebut rumah tangga miskin.

"Dengan standar itu, angka kemiskinan Indonesia lebih dari dua kali lipat," ujar Ali melansir laman IPB, Senin (1/2/2021).

Sebagai upaya mengurangi angka kemiskinan nasional, pemerintah telah memberikan berbagai bantuan.

Salah satunya adalah bantuan langsung tunai (BLT) dana desa dengan mengacu Peraturan Menteri Perdesaan (Permendes) No 6 Tahun 2020.

Dia mengaku, banyak kepala desa kesulitan menentukan dan menetapkan bantuan berdasarkan peraturan tersebut.

Mungkin kriteria dalam peraturan tersebut cocok untuk orang yang sangat melarat hidupnya.

Baca juga: Pakar IPB Ungkap Beberapa Keunikan Kelelawar

"Sementara yang perlu bantuan, apalagi saat pandemi, adalah orang yang kehilangan pekerjaan atau cukup masuk kategori miskin menurut kriteria BPS," jelas dia.

 

Lanjut dia menjelaskan, ciri kemiskinan di Indonesia adalah banyak rumah tangga di atas garis kemiskinan nasional.

Sehingga meski tidak miskin, mereka rentan terhadap kemiskinan.

Selain itu, banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, tetapi menjadi miskin karena tidak dapat mengakses pelayanan dasar.

Pelayanan dasar yang dimaksud seperti ketersediaan air bersih dan perumahan yang layak huni.

"Penggunaan garis kemiskinan yang terlalu rendah dapat memunculkan angka kemiskinan yang keliru. Banyak orang akan terklasifikasi tidak miskin padahal sangat menderita," tegas dia.

Dia menegaskan, apabila mencermati fakta statistik, jumlah orang miskin hanya 25 juta orang.

Baca juga: Pakar IPB: 4 Penyebab Banjir Bandang Puncak Bogor

Padahal, lanjut dia, yang berhak mendapatkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) ada 10 juta rumah tangga atau setara dengan 40 juta orang.

Dalam menentukan jumlah orang miskin dengan kriteria pendapatan atau pengeluaran, sebenarnya sangat sulit.

Karena, banyak rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian tradisional atau informal dengan penghasilan yang tidak menentu.

Perlu indikator kemiskinan

Oleh sebab itu, dalam upaya mengentaskan orang dari kemiskinan perlu indikator kemiskinan, bukan hanya garis kemiskinan.

Indikator ini harus realistis dan mudah dipakai di lapangan.

"Indikator ini seperti status janda tanpa pekerjaan, pendidikan kepala rumah tangga rendah, kecilnya luas lantai rumah dan tiadanya fasilitas buang air besar," ucap Dosen di Departemen Gizi Masyarakat IPB ini.

Baca juga: Mahasiswa, IPB Berikan 7 Keringanan UKT dan Biaya Pendidikan

Sedangkan dari aspek gizi dan makanan, tambah dia, indikatornya adalah konsumsi daging yang rendah dan sebaliknya konsumsi ikan asin tinggi, serta adanya anak balita bergizi buruk dan stunting.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com