Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Medan Juang Pengabdian Guru, Pemberi Harapan di Tengah Pandemi

Kompas.com - 21/01/2021, 12:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Anggi Afriansyah | Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

KOMPAS.com - Pandemi semakin menyadarkan tentang arti penting guru. Para orangtua semakin menyadari betapa mendidik anak bukan perkara mudah. Ketahanan menghadapi anak dengan beragam tipe dan laku membutuhkan kecanggihan dan ketabahan tersendiri.

Pandemi Covid-19, pada sisi positif, membuat guru melakukan berbagai adaptasi dan transformasi. Guru-guru kembali belajar berbagai hal baru demi menunaikan hak anak mendapatkan pembelajaran.

Bagi guru-guru yang memiliki akses terhadap internet adaptasi yang dilakukan lebih mudah. Guru berkesempatan melakukan berbagai webinar dan pelatihan digital untuk meningkatkan kapasitasnya.

Sementara di kutub lain, guru-guru yang minim akses semakin tertinggal. Mereka tak ada kesempatan mengikuti ragam webinar dan pelatihan yang dilakukan melalui beragam perangkat digital.

 

Untuk menggenapi hak anak mereka berjibaku meski di tengah kasus Covid-19 yang semakin meningkat juga menembus medan yang sulit.

Baca juga: Kemendikbud Rekrut Guru Penggerak Jenjang SD-SMA untuk 2.800 Orang

Pada titik ini, keberpihakan pemerintah pusat maupun daerah menjadi sangat penting, terutama bagi guru-guru yang memiliki keterbatasan akses. Perhatian terhadap guru-guru yang minim akses menjadi sangat penting.

Apalagi yang mereka didik adalah anak-anak yang memiliki banyak keterbatasan. Ketangguhan para guru di wilayah-wilayah yang sulit perlu diapresiasi secara memadai dengan berbagai kebijakan yang berpihak kepada mereka.

Ruang bagi aktualisasi dan peningkatan kapasitas guru semakin krusial jika bangsa ini ingin melaju lebih cepat. Guru-guru harus diberi kesempatan untuk meningkatkan kapasitas agar semakin kompeten.

Tanpa mengupayakan peningkatan kompetensi secara memadai pendidikan di negeri ini akan semakin tertinggal.

Panggilan jiwa

Di luar situasi pandemi, guru-guru Indonesia berjuang dalam medan yang tidak mudah. Situasi pandemi membuat perjuangan menjadi beberapa kali lipat.

Sehingga, perhatian terhadap perlindungan dan kesejahteraan tetap menjadi hal utama yang perlu diperhatikan. Jangan biarkan para guru merasa sepi berjuang sendiri.

Medan juang guru dalam mendidik anak-anak berbeda di setiap wilayah. Namun kerja-kerja berat sangat dirasakan bagi guru honorer ataupun guru-guru yang bertugas di wilayah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal (3T).

Hal utama yang membuat guru-guru dapat awet dan tetap siaga dalam mendampingi anak-anak bangsa adalah panggilan jiwa.

Contoh-contoh inspiratif dari perjuangan guru bertebaran di sekitar kita. Ada guru-guru yang secara ekonomi tidak sejahtera tetapi tetap teguh di profesinya. Ataupun para guru yang tinggal di medan sulit dan minim akses tetapi tetap bertahan lama menemani anak-anak.

Ketika tim peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI melakukan penelitian di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat (2019) kami menemui guru-guru berdedikasi ini. Di tengah minimnya akses mereka tetap mendampingi anak-anak.

Persoalan kekurangan guru di Tanah Papua secara umum masih terus terjadi hingga kini, sesuatu yang terjadi sudah sangat lama. Sehingga hanya guru-guru berhati teguh yang mampu bertahan.

Baca juga: Jokowi Teken Perpres 7/2021, Guru hingga Dosen Akan Diberi Pelatihan Pencegahan Ekstremisme

Ketika kami mendatangi ke kampung-kampung yang menjadi lokasi riset masyarakat seringkali mengeluhkan minimnya tenaga kesehatan dan guru.

Kehadiran dua profesi tersebut sama dengan pemberian harapan akan masa depan anak-anak Papua yang lebih baik. “Kami tidak butuh gedung (sekolah dan puskesmas) yang megah, kami butuh guru dan tenaga kesehatan”, begitu seru salah satu ibu dalam kesempatan wawancara.

Tidak heran jika ada guru yang mau mendedikasikan hidupnya di medan pengabdian akan diberi apresiasi besar oleh warga.

Seorang guru muda bercerita, meski gaji yang diterima sangat minim, kebutuhan hariannya banyak dibantu oleh masyarakat. Dari cerita sang guru para siswa sering datang ke tempat tinggal mereka untuk belajar.

Mereka gembira dengan hadirnya guru. Anak-anak secara sukarela membawa kayu bakar atau bahan pangan lokal yang bisa dikonsumsi guru-guru tersebut. Hal tersebut yang membuat ia dan para guru muda betah dan bertekad untuk terus mendampingi anak-anak.

Mendidik dengan hati, demikian para warga di Tambrauw, Papua Barat menyebut guru-guru yang berdedikasi dan mau menemani anak-anak mereka belajar.

Di tengah pragmatisme dan tuntutan profesionalisme serta berbagai aspek adminstratif lainnya, terminologi mendidik dengan hati seperti ada di ruang utopis.

Para pejuang tangguh

Namun, jika merujuk pada perjuangan para guru-guru di berbagai tempat, guru-guru yang mendidik dengan hati masih kita temui.

Dalam konteks keagamaan para guru di pesantren dapat menjadi salah satu contoh. Mereka tidak menjadikan profesi guru sebagai arena mencari nafkah semata karena sadar, apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari upaya menggapai rida Ilahi.

Catatan Sutomo ketika merespon St. Takdir Alisjahbana (STA) dalam Polemik Kebudayaan (Pustaka Jaya, 1948) mengenai para guru (kiyai) di pesantren menarik diperhatikan. Para guru ini menurut catatan Sutomo tidak menjadikan penghasilan sebagai tujuan ketika memilih profesi.

Para guru ini rela hidup sederhana tanpa kehilangan kesenangan dan kegembiraan dalam hidup. Mereka melakukan hal tersebut, menurut Sutomo, karena levensroeping, tujuan hidupnya memberi penerangan bagi bangsa kita yang miskin.

Baca juga: Puluhan Tahun Mengabdi, DPR: Guru Honorer Perlu Diangkat Jadi PPPK

Kondisi ketika itu memang tidak bisa dibandingkan dengan situasi saat ini. Namun, catatan tersebut masih relevan dan kita temui pada guru-guru yang berdedikasi. Baik di ranah pendidikan umum maupun keagamaan.

Mereka yang membuat janji pencerdasan yang diamanatkan para pendiri bangsa, terutama bagi kalangan marjinal, bisa tetap tergenapi. Hanya guru-guru yang memiliki cinta besar yang bisa melakukan hal tersebut.

Guru jenis ini seperti yang disebut Tilaar (2015), sosok yang membimbing anak manusia untuk mengembangkan kodrat kemanusiaanya. Para guru, seperti yang disebut Ki Hadjar Dewantara sebagai sosok momong, among, ngemong sangat dibutuhkan di berbagai tempat di negeri ini.

Tantangan bagi guru di setiap tempat tentu saja berbeda. Tetapi yang paling utama adalah keteguhan untuk menempuh jalan sulit ketika mendidik anak-anak bangsa. Kesadaran bahwa peran mereka untuk memberi jalan terang bagi kemajuan anak-anak bangsa begitu krusial.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com