Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bergerak sangat cepat dan telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Disadari atau tidak, kita dituntut untuk mampu beradaptasi dan bersaing agar bisa bertahan di tengah perubahan zaman.
Hal tersebut merupakan hal yang sangat lazim karena pada dasarnya manusia memiliki karakteristik untuk terus berinovasi dan menciptakan hal-hal baru. Sebagai akibatnya revolusi selalu menjadi fenomena sosial khas dalam sejarah kehidupan manusia.
Setiap revolusi identik dengan perubahan dan tegangan sosial karena selalu saja ada kelompok yang berhasil bertahan dan kelompok lain yang terpinggirkan.
Contohnya, revolusi industri di Inggris pada abad 18 yang ditandai dengan perubahan dalam skala besar di berbagai sektor esensial seperti pertanian, transportasi, pertambangan, teknologi, dan manufaktur sehingga hal tersebut berdampak langsung terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya.
Berangkat dari fakta di atas, saat ini kita kembali berhadapan dengan munculnya revolusi industri 4.0 yang identik dengan teknologi otomatisasi dan siber yang melalui sistem komputasinya terhubung dengan berbagai bidang kehidupan manusia.
Belum lagi, revolusi industri 5.0 yang muncul dari peradaban Jepang awal Januari 2019 sebagai respon dari revolusi industri 4.0 yang identik dengan konektivitas (internet of things), sehingga khas dengan model artificial intelligence (kecerdasan buatan), meskipun belum terlalu populer di negara berkembang seperti Indonesia, revolusi industri 5.0 memiliki potensi mempengaruhi keadaan sosial saat ini.
Di era pandemi saat ini, refleksi dari perubahan sebagai dampak dari revolusi industri 4.0 dan 5.0 semakin terlihat. Hal ini ditandai dengan perubahan di berbagai sektor penting yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Sektor ekonomi adalah yang paling cepat merespons perubahan ini. Sistem transaksi yang sebelumnya masih berjalan secara konvensional kemudian berubah menjadi low-touch economy dan hygiene precaution akibat dari penerapan social distancing sehingga e-commerce dan consumer goods menjadi banyak diminati masyarakat saat ini. Sistem ekonomi konvensional pun perlahan ditinggalkan.
Selain itu, sektor pendidikan juga mengalami perubahan secara besar-besaran. Aktivitas pembelajaran yang semula berlangsung secara tatap muka kini harus berjalan secara daring dan virtual.
Pihak sekolah dan kampus dituntut untuk merespons perubahan ini secara cepat mulai dari menyusun model pembelajaran daring hingga mendesain platform virtual.
Selain itu, baik guru, dosen, pelajar, dan mahasiswa dituntut untuk mengasah literasi teknologi-digital demi tetap berjalannya proses pembelajaran.
Belajar dari sejarah dan pengalaman masa lalu, bahwa setiap revolusi selalu memunculkan tegangan sosial yang mengharuskan kita untuk selalu siap akan segala kemungkinan dan berbagai perubahan, peradaban sejatinya tidaklah stagnan. Peradaban berjalan terus dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang dihasilkannya.
Meminjam pemikiran Raymond Williams (1977) bahwa budaya selalu bergerak dan berubah, artinya secara teoritis budaya memiliki tiga siklus (budaya residual, dominan, emergen). Budaya residual merujuk kepada budaya yang pernah berjaya di masa lalu harus tergantikan atau tergeser dengan budaya dominan saat ini.
Sedang budaya dominan selalu merasa terancam oleh kemunculan budaya emergen yang berpotensi untuk mendominasi.
Hadirnya revolusi 1.0 hingga revolusi industri 5.0 saat ini merupakan refleksi nyata dari siklus budaya dalam pemikiran Williams. Alih-alih merasa tertekan dan khawatir, kita harus mampu untuk mempersiapkan diri dan mengembangkan rencana strategis untuk tetap sintas di segala bentuk perubahan zaman.