Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurismo: Garasi, Visi dan Kolektivisme Wirausaha.

Kompas.com - 06/01/2021, 10:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Belajar dari spirit wirausaha komunitas

Nah di sini menariknya. Sebelum saya sampaikan temuan-temuan saya soal pertanyaan di atas, mari saya sampaikan dahulu beberapa hal.

Pertama, wacana pemberdayaan UMKM di Indonesia lebih pada by design - kebanyakan melalui inisiatif kebijakan top-down - ketimbang menumbuhkan semangat kolektif tiap komunitas untuk berinisiatif membangun ekosistem kewirausahaan mikro.

Pandemi tahun ini mengajarkan kita pada spirit itu.

Banyak bermunculan kampanye :beli dari tetangga" atau "beli dari teman" untuk menutup kebutuhan pembelian grocery atau barang kebutuhan harian saat PSBB diberlakukan.

Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran masal akan tertular penyakit bila pergi ke kerumuman besar seperti pasar tradisional maupun mall-mall.

Sesuatu yang sifatnya "by design" memerlukan upaya sangat besar dan melelahkan untuk menjaganya tetap berlangsung. Seharusnya bukan "by design" tapi "let the community learn from within".

Yang kedua, kolabrorasi membesarkan ekosistem. Yang membangun ekosistem mungkin hanya satu, tetapi yang membesarkannya bisa banyak sekali.

Kalau kita menengok ke belakang mengapa 20 hingga 40 tahun lalu anak-anak muda berspirit wirausaha seperti para pendiri Apple, Google, Microsoft, Amazon, Facebook, dan lainnya sudah membawa karakteristik collectivism itu dalam darah wirausaha mereka, jawabannya kita temukan dalam sepuluh tahun terakhir.

Apple memiliki lebih dari 200 supplier hardware untuk semua lini gawainya, termasuk dari rival-rival besarnya. Belum lagi ratusan aplikasi yang masuk dalam ekosistem MacOS atau iOS milik Apple beberapa di antaranya datang dari rivalnya, yakni Microsoft dan Google.

Hal yang sama terjadi sebaliknya. Spirit komunitas ini pula yang direfleksikan dengan semakin diterimanya apa yang sekarang kita sebut sebagai ekosistem: semua ramai-ramai membangun 'komunitas digital': ya orangnya, ya pasarnya, ya produknya.

Ada keterhubungan, ada ketergantungan, dan ada rasa untuk saling menjaga.

Baca juga: Karyawan vs Entrepreneur, Mana Pilihan Milenial?

Sharing economy dan semangat kolektivisme

Spotify, perintis streaming music asal Swedia selama beberapa tahun sendirian di spesies industri baru ini.

Begitu Apple music masuk ke bisnis streaming music, para eksekutif Spotify justru senang dan berterima kasih kepada Apple, karena industri streaming musik masuk ke babak baru, bukan lagi diisi spesies tunggal (Spotify), tetapi juga oleh perusahaan besar lainnya seperti Apple.

Di kemudian hari, justru karena Apple masuk, industri ini terangkat sebagai industri yang dianggap sudah mapan, dan ribuan perusahaan label tersengat dengan spirit ini untuk ikut masuk dalam ekosistem, dalam komunitas.

Kultur ini perlu dibangun di kalangan perintis usaha. Banyak yang bepikir bahwa membangun usaha adalah suatu stand alone effort. Akhirnya kelelahan di tengah perjalanan, dan bilapun berhasil melalui tahun pertama, mungkin gulung tikar di tahun berikutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com