Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurismo: Garasi, Visi dan Kolektivisme Wirausaha.

Kompas.com - 06/01/2021, 10:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Musim panas 1995 saat saya mendarat pertama kali di Denver, saya langsung menuju 'tempat transit' untuk menjalani induksi selama satu minggu. Saya ditempatkan di sebuah keluarga yang sudah sepuh dan punya tiga kamar tidur ekstra.

Yang saya amati adalah, keluarga yang anak-anaknya sudah mapan entah tinggal di mana, memiliki dua mobil yang semuanya diparkir di luar rumah, padahal mereka memiliki garasi yang lebar, dua pintu pula.

Dalam satu kesempatan saya diajak ke garasi, dan isinya benar-benar lebih tepat disebut sebagai sebuah workshop, atau tempat kerja tukang.

Ada meja kerja dan lemari-lemari serta rak-rak yang sudah kosong di ruang garasi yang sangat lapang itu. Saat saya tanya siapa yang memakai garasi ini, sang ibu sepuh bilang, salah satu anaknya dulu punya bisnis jualan barang bekas (istilah mereka garage sale).

Dari garasi ke Sillicon Valley

Saya paham betul istilah itu karena sangat kental di kalangan masyarakat Amerika. Biasanya saat mereka mau membuang barang-barang lama/afkiran seperti pakaian, sepatu, alat masak, lemari dan lainnya.

Mereka tinggal umumkan dalam bentuk print out di Community Center bahwa mereka membuka garage sale. Biasanya dalam satu weekend barang-barang mereka habis terbeli, dan yang beli tak hanya para tetangga, tetapi juga orang-orang dari luar komunitas.

Baca juga: Era Digital di Depan Mata, Universitas Prasetiya Mulya Siapkan Mahasiswanya agar Menjadi Entrepreneur yang Inovatif

Dua dekade setelah itu saya mencoba merenungkan kembali mengapa perusahaan-perusahaan rintisan Amerika (dulu istilah 'rintisan' tak selalu berkonotasi dengan teknologi atau digital) banyak dimulai di garasi.

Bayangkan dengan di Indonesia yang saat membangun perusahaan baru, kongsian pula, kami lebih suka merogoh kocek hingga berhutang untuk sewa tempat yang lebih representatif demi memperkenalkan, 'ini lho bisnis kami'.

Pencitraan? Mungkin bukan.

Tapi ada kesadaran bahwa memulai dengan sebuah "Big Bang" dipercaya akan membantu memuluskan jalan untuk menarik lebih banyak calon konsumen. Apa iya?

April 2018 saat mengunjungi Silicon Valley untuk suatu program pengembangan profesional di Stanford, kami mampir ke sebuah garasi legendaris yang terletak di Palo Alto, masih satu komplek dengan Universitas Stanford.

Itu adalah garasi yang dulu sekali dipakai oleh dua orang jenius yang visoner, Bill Hewlett dan David Packard, saat mereka merintis sebuah usaha kecil yang saat ini kita kenal sebagai HP atau Hewlett-Packard.

Garasi itu tampak begitu kecil dan sempit, bagaimana mungkin sebuah perusahaan raksasa global dimulai dari tempat sesederhana itu? Kekuatan apa yang mampu memberikan "Big Bang" di dalam garasi itu?

Garasi itu ....dialah embrio sebuah kawasan yang kemudian disebut Silicon Valley!

Visi dan determinasi lampui pencitraan.

Kisah garasi Hewlett dan Packard beranak-pinak. Garasi-garasi lainnya di pesisir Barat Amerika, mulai dari San Diego, Los Angeles dan San Fransisco di California hingga Seattle dan Redmond di Washington melahirkan legenda-legenda baru: Apple, Dell, Yahoo, Google, Microsoft (garasi pertama di New Mexico), dan Amazon.

Perusahaan-perusahaan itu membawa banyak tentang awal mula visi mereka dieksekusi di tempat seadanya.

Kisahnya epik pula. Pembaca bisa bayangkan, di Amerika apa yang disebut sebagai upaya-upaya kolektif untuk memajukan kewirausahaan tidak diinisiasi oleh negara atau negara bagian.

Baca juga: Dirjen Vokasi: Saatnya Ubah “Mindset” Petani Pekerja Jadi Petani Entrepreneur

Hampir di tiap komunitas memiliki sebuah chamber of commerce, kamar dagang, dan di sanalah bisnis-bisnis mikro berasosiasi, bertukar gagasan maupun berbagi kepentingan.

Beberapa komunitas yang tak terlalu besar populasinya bergabung untuk memiliki satu kamar dagang sendiri. Kamar dagang ini lebih tepat disebut sebagai inisiatif komunitas ketimbang sebagai kebijakan top-down negara bagian kepada komunitas-komunitas.

Lebih aman pula untuk menyimpulkan bahwa spirit entrepreneurial Amerika adalah spirit komunitas, dan berdagang dalam bentuk mikro adalah buah-buah yang lahir dari spirit itu. Di bagian akhir tulisan ini akan saya sampaikan alasannya.

Kisah garasi bukanlah kisah tentang ruang (space). Dalam konteks kewirausahaan, garasi hanyalah pengejawantahan semangat 'start simple, one step at a time'.

Penghematan biaya di awal berbisnis hanyalah akibat dari semangat itu, dan dengan demikian sang calon pengusaha bisa berfokus pada visinya (produk layanannya, siapa calon konsumennya, bagaimana mengirimkan produk itu ke pelanggannya, dan bagaimana bisnisnya bisa berkesinambungan).

Garasi hanyalah bagian dari 'start simple' itu.

Fokus pada traksi dan monetisasi

Amazon misalnya, kisah Jeff Bezos menjadi sangat epik dan kolosal karena kecepatan bertumbuhnya, dan juga karena visinya dieksekusi secara tepat yang menghasilkan volume omzet serta nilai pasar Amazon yang fantastis.

Ia memulai di garasi bukan karena ia tak punya dana untuk menyewa tempat yang lebih representatif. Ia adalah jebolan eksekutif perusahaan hedge funds papan atas di Wall Street NY saat ia memilih mundur dan mencoba peruntungan baru di tahun 1994.

Uang tabungan (dan mungkin juga pesangonnya) pasti lebih dari cukup untuk menyewa sebuah kantor di manapun di seantero Amerika.

Bagi seorang Bezos, prioritas energi yang akan ia alokasikan sudah pasti pada visinya serta strategi bagaimana mewujudkannya. Cara berpikir yang sama juga terjadi pada Bill Gates dan Paul Allen, Steve Jobs dan Steve Wozniak, juga Larry Page dan Sergey Brinn.

Sepuluh tahun pertama dalam sejarah perkembangan perusahaan mereka justru ditekankan pada traction, mencari basis massa pelanggan serta pengguna untuk dimonetisasi.

Mereka juga memilih sibuk mencari model bisnis terbaik lainnya untuk mendukung bisnis utama mereka, bahkan akuisisi perusahaan-perusahaan lain bila perlu.

Hampir tak ada cerita soal pindahan kantor, bahkan saat markas besar mereka siap menjadi landmark, penanda kulminasi pencapaian prestasi mereka, ya terjadi begitu saja, tak ada berita besar-besaran, acara gunting pita di gerbang masuk, peresmian oleh pejabat pemerintah setempat, atau mengundang selebriti untuk memeriahkan pindahan kantor tersebut.

Baca juga: Ciputra dan Impian Besar Melahirkan Dua Juta Entrepreneur Indonesia

Belajar dari spirit wirausaha komunitas

Nah di sini menariknya. Sebelum saya sampaikan temuan-temuan saya soal pertanyaan di atas, mari saya sampaikan dahulu beberapa hal.

Pertama, wacana pemberdayaan UMKM di Indonesia lebih pada by design - kebanyakan melalui inisiatif kebijakan top-down - ketimbang menumbuhkan semangat kolektif tiap komunitas untuk berinisiatif membangun ekosistem kewirausahaan mikro.

Pandemi tahun ini mengajarkan kita pada spirit itu.

Banyak bermunculan kampanye :beli dari tetangga" atau "beli dari teman" untuk menutup kebutuhan pembelian grocery atau barang kebutuhan harian saat PSBB diberlakukan.

Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran masal akan tertular penyakit bila pergi ke kerumuman besar seperti pasar tradisional maupun mall-mall.

Sesuatu yang sifatnya "by design" memerlukan upaya sangat besar dan melelahkan untuk menjaganya tetap berlangsung. Seharusnya bukan "by design" tapi "let the community learn from within".

Yang kedua, kolabrorasi membesarkan ekosistem. Yang membangun ekosistem mungkin hanya satu, tetapi yang membesarkannya bisa banyak sekali.

Kalau kita menengok ke belakang mengapa 20 hingga 40 tahun lalu anak-anak muda berspirit wirausaha seperti para pendiri Apple, Google, Microsoft, Amazon, Facebook, dan lainnya sudah membawa karakteristik collectivism itu dalam darah wirausaha mereka, jawabannya kita temukan dalam sepuluh tahun terakhir.

Apple memiliki lebih dari 200 supplier hardware untuk semua lini gawainya, termasuk dari rival-rival besarnya. Belum lagi ratusan aplikasi yang masuk dalam ekosistem MacOS atau iOS milik Apple beberapa di antaranya datang dari rivalnya, yakni Microsoft dan Google.

Hal yang sama terjadi sebaliknya. Spirit komunitas ini pula yang direfleksikan dengan semakin diterimanya apa yang sekarang kita sebut sebagai ekosistem: semua ramai-ramai membangun 'komunitas digital': ya orangnya, ya pasarnya, ya produknya.

Ada keterhubungan, ada ketergantungan, dan ada rasa untuk saling menjaga.

Baca juga: Karyawan vs Entrepreneur, Mana Pilihan Milenial?

Sharing economy dan semangat kolektivisme

Spotify, perintis streaming music asal Swedia selama beberapa tahun sendirian di spesies industri baru ini.

Begitu Apple music masuk ke bisnis streaming music, para eksekutif Spotify justru senang dan berterima kasih kepada Apple, karena industri streaming musik masuk ke babak baru, bukan lagi diisi spesies tunggal (Spotify), tetapi juga oleh perusahaan besar lainnya seperti Apple.

Di kemudian hari, justru karena Apple masuk, industri ini terangkat sebagai industri yang dianggap sudah mapan, dan ribuan perusahaan label tersengat dengan spirit ini untuk ikut masuk dalam ekosistem, dalam komunitas.

Kultur ini perlu dibangun di kalangan perintis usaha. Banyak yang bepikir bahwa membangun usaha adalah suatu stand alone effort. Akhirnya kelelahan di tengah perjalanan, dan bilapun berhasil melalui tahun pertama, mungkin gulung tikar di tahun berikutnya.

Industri dibangun dan dipelihara oleh bisnis-bisnis. Bisnis dibangun oleh para wirausahawan, namun hanya akan bisa berkesinambungan bila pada titik-titik tertentu secara kolektif mereka membesarkan dan menghidupi ekosistemnya.

Dan ini bukan soal dunia digital saja, tetapi hal-hal manual dan analog pun harus dipikirkan menuju ke arah itu. Sharing economy adalah bayi yang dilahirkan dari semangat kolektivisme ini.

Garasi, garage sale, korporasi, hari ini hanyalah gang kecil atau jalan besar yang menjadi bagian dari visi wirausaha.

Sekali lagi, berbicara soal pemberdayaan UMKM tanpa memberitahu mereka spirit ini seperti mengajar mereka cara berenang melalui papan tulis di kelas-kelas: sempurna di wacana, gagal di eksekusi.

Dan jangan salah, kita tak harus menjadi orang Amerika untuk memiliki dan membangun spirit itu, karena pada dasarnya masyarakat kita di negeri yang keren ini memang gemar gotong royong. India sudah melakukannya, China mungkin belum tampak, tapi cepat atau lambat, seluruh dunia akan dipaksa berkolaborasi.

Semper Fi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com