KOMPAS.com – Berdasarkan payung hukum, semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Namun, pemerintah membutuhkan rencana detail untuk membuat pendidikan inklusif di Indonesia.
Devi Sani, psikolog dan pendiri klinik tumbuh kembang anak Rainbow Castle, mengatakan membuat pendidikan inklusif tidak semudah hanya menyatukan ABK dengan anak lainsecara fisik.
“Tetap dibutuhkan perencanaan yang sangat detail terkait hal ini,” ujar Devi pada Selasa (16/9/2020).
Baca juga: PMPK Kemendikbud: Masih Ada Kesenjangan Pendidikan ABK dan Dunia Kerja
Hal perlu dipertimbangkan untuk merancang pendidikan inklusif ialah pengunaan berbagai variasi instruksi kepada murid. Tujuannya supaya bisa mengakomodir berbagai kebutuhan murid.
Selain itu, pemerintah harus memastikan semua murid dengan kebutuhan tertentu bisa mengakses fasilitas belajar. Tak kalah penting, pemerintah harus memastikan adanya layanan pemeriksaan psikologis dan fisik secara individual untuk pelajar.
Menurutnya, pemerintah harus memerhatikan kualitas dan jumlah sumber daya manusia dari guru. Pengajar harus memiliki bekal untuk mengelola kelas dengan berbagai jenis kebutuhan khusus muridnya.
“Seluruh guru dan pihak yang terlibat dalam pembelajaran murid tahu betul tentang Individualized Education Program (IEP) dalam setting pendidikan inklusif,” kata Devi.
Dengan kondisi semua pihak yang terlibat dengan murid ABK mengetahui cara pembuatan dan bagaimana menjalankan IEP dalam 1 semester, Indonesia bisa lebih dekat menuju pendidikan yang inklusif.
Devi menambahkan, pendidikan bagi ABK tetap penting karena mereka memiliki kelebihan dalam diri.
“Mereka tetap perlu kita optimalkan perkembangannya sesuai dengan ukuran optimal mereka. Tanpa adanya pendidikan bagi mereka, perkembangan yang optimal akan sulit dicapai,” imbuh Devi.