Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman “Top Markotop” Alumni Program YES di Amerika, Apa yang Didapat?

Kompas.com - 16/05/2020, 11:41 WIB
Erwin Hutapea,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

Dia pun mencobanya hingga akhirnya suka dan bisa sedikit demi sedikit serta menunjukkan kemajuan.

Host sister aku suka menggambar, dia meyakinkan aku untuk ambil art sebagai school subject. Jadi aku coba-coba dan akhirnya suka. Setelah 10 bulan berlatih di sana, sekarang ada bedanya (hasil menggambar). It’s not bad, setidaknya ada improvement,” tuturnya sambil tertawa.

Baca juga: Dibuka, Pendaftaran Beasiswa S1 di 8 Perguruan Tinggi BUMN 2020

Karin menambahkan, pengalaman selama di sana juga mengajarkan kepadanya tentang pentingnya komunikasi dan percaya diri. Misalnya saat tidak suka dengan suatu makanan,
dia mengutarakannya secara jujur, tetapi disampaikan dengan cara yang baik.

Selain itu, dia juga belajar hidup mandiri dan berani. Hal itu sangat berbeda dari kebiasaan sehari-harinya di Indonesia sebelum berangkat ke Amerika.

Independence. Aku sekarang jauh lebih mandiri, ke mana-mana enggak harus diantar lagi. Kalau dulu masih takut, bahkan kalau di restoran mau ngomong ke kasir aja takut. Tapi, sejak di Amerika jadi lebih berani,” ungkap Karin.

Gunakan otak di luar zona nyaman

Pengalaman mengesankan pun dirasakan oleh alumnus lainnya, yakni Mutti Anggitta. Dia juga berkesempatan menjalani program YES di Maryland, AS, tetapi untuk angkatan 2004-2005.

Selama di sana, salah satu pelajaran yang diperolehnya yaitu bahwa ketika hidup di luar zona nyaman, dia dibuat untuk benar-benar menggunakan otak dalam aktivitas sehari-hari, tetapi kemudian itulah yang menyebabkan dia bisa terus berkembang.

Sebab, selama di Amerika dia harus tinggal di tempat dan lingkungan yang baru, awalnya belum mempunyai teman, dan kemampuan bahasa Inggris pun bisa dibilang cukup. Ketika di sana, dia mengaku harus menyesuaikan lagi, misalnya dengan intonasi dan istilah slank.

“Yang saya rasa harus pakai otak adalah karena merasa sendiri. Jadi harus mengamati dulu bagaimana orang hidup, bicara, menjalin hubungan dengan teman dan keluarga angkat, lalu akhirnya menyesuaikan diri,” ucap Mutti.

Dia pun menuturkan bahwa perasaan rindu Tanah Air itu merupakan hal yang biasa karena berada di lingkungan yang baru dan dipaksa memulai kehidupan baru, termasuk masalah makanan, cuaca, dan bahasa.

Namun, itu adalah konsekuensi yang harus dijalani sebagai keputusan untuk mengikuti program YES tersebut. Jadi harus dilakukan dengan senang hati.

“Hidup di luar comfort zone itu scary, tapi you have to go karena mau gimana lagi, ini keputusanmu untuk ikut program itu, kamu harus melakukan dengan senang. Tapi, pelajaran ini bisa diterapkan sampai kapan pun, karena harus dilakukan yang bikin kita pakai otak dan kita bertumbuh,” jelas Mutti.

Tidak hanya itu, dia juga mendapat pelajaran tentang perbedaan kebudayaan sehingga dia membuat kesimpulan bahwa tidak ada yang benar atau salah, karena itu hanya soal perbedaan kebudayaan.

Baca juga: Mabes TNI Tawarkan Beasiswa bagi Mahasiswa S1, Lulus Peluang Jadi Perwira

Sebab, Indonesia dan AS memiliki banyak kebudayaan yang berbeda. Tentunya perlu pengamatan, pemahaman, dan penyesuaian diri agar bisa menerima budaya yang berbeda itu.

Theres no right or wrong, only cultural differences. Kita diingatkan agar jangan melihat sesuatu itu hitam putih, langsung menghakimi. Kita di sana sebagai minoritas, harus mengamati dulu kenapa sesuatu begitu, tapi bukan berarti harus menerima semuanya. Jadi harus kritis juga,” ujar Mutti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com