Selebrasi terhadap pemberitaan tersebut dan menerimanya sebagai kebenaran mutlak yang mewakili hasil statistik populasi, kenyataannya terlalu berlebihan karena jumlah samplenya masih terlalu kecil, belum representatif jika dibandingkan dengan kasus korona di seluruh dunia (yang sekarang sudah ratusan ribu jumlahnya).
"Supaya terhindar dari jebakan berpikir bias jumlah kecil, pastikan kita punya sampel yang cukup sebelum mengambil kesimpulan," saran Afu.
Jebakan berpikir lain yang terjadi gegara corona, ialah bias ketersediaan.
Informasi yang mudah diingat dan sering kita dengar, kita anggap pasti benar.
Setelah pemberitaan intensif tentang kota-kota yang diisolasi karena corona, penularannya yang cepat, dan angka kematian akibat virus ini, apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang corona?
Baca juga: Tenangkan Diri di Tengah Wabah Corona dengan Ikut Meditasi Online
Tentu, ada yang akan percaya bahwa virus ini sangat berbahaya. Jadi, begitu mendapatkan kabar tentang dua WNI positif terinfeksi virus Covid-19, orang terdorong untuk memborong kebutuhan pokok, serta alat perlindungan utama, seperti masker dan hand sanitizer.
Mereka takut kotanya akan ikut ditutup (lockdown), seperti di China, Iran, dan Italia.
Realitanya sampai sekarang pemerintah Indonesia belum menyatakan lockdown, tetapi mengimbau untuk mengurangi interaksi dan aktivitas luar ruang. Sejumlah tempat wisata juga ditutup sementara.
Karena fokus sistem satu terhalang kedua bias tersebut, kita cenderung mengabaikan fakta bahwa angka kematiannya lebih kecil daripada tingkat kesembuhan pasien.
Kita juga mengabaikan variabel lain, seperti kebanyakan orang yang meninggal adalah mereka yang sudah memiliki penyakit menahun sebelum terdiagnosa positif corona.
Untuk dapat mencerna seluruh informasi tersebut, kita membutuhkan sistem dua bekerja. Setelah segala kepanikan tentang corona merebak, sistem dua memampukan kita lebih tenang dan berpikir logis.
Alih-alih panik, kita tahu bahwa sekarang lebih baik meningkatkan kewaspadaan. Bagaimanapun, kata Afutami, mesti kita tidak perlu panik berlebihan, persoalan corona tidak bisa disepelekan.
“Kenyataan yang kompleks jangan disederhanakan,” pungkasnya.
Penulis: Silviana Dharma, Kepustakaan Populer Gramedia
Tautan terkait artikel: