Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Urgensi Manajemen Krisis di Lembaga Pendidikan Formal

Isu negatif organisasi dapat dengan mudah menyebar ke berbagai penjuru dunia dalam hitungan milidetik hingga zeptodetik yang berdampak pada penanganan krisis menjadi semakin tidak gampang.

Lelet alias lamban dalam menangani krisis, yakni dengan membiarkan krisis berkembang liar tanpa kendali tentu saja merupakan keputusan yang tidak bijak untuk citra dan reputasi organisasi.

Pun di ranah dunia pendidikan, pada dasarnya lembaga pendidikan formal juga bukan organisasi yang kebal krisis.

Krisis bisa muncul tanpa peringatan dan dengan cepat mengguncang dan menggagapkan institusi PAUD, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga Perguruan Tinggi.

Terlebih saat ini isu negatif dan insiden berujung krisis yang mendera lembaga pendidikan formal makin beragam.

Bicara soal data, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejak Januari hingga Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran pada perlindungan anak di klaster pendidikan, dengan rincian korban perundungan 87 kasus, anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 24 kasus, anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, dan anak korban kekerasan seksual 487 kasus.

Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memperlihatkan kasus perundungan di lingkungan sekolah pada periode Januari-Agustus 2023, paling banyak justru terjadi di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan proporsi mencapai 25 persen dari total kasus.

Sementara itu, terkait tiga dosa besar perguruan tinggi mulai dari kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi yang naik siginifikan, Kemendikbudristek mencatat dosa kekerasan seksual ternyata menjadi kasus yang paling sering dan banyak terjadi di perguruan tinggi.

Tragisnya, data dari kasus-kasus di lembaga pendidikan formal ini masih sebatas fenomena gunung es, karena sejatinya masih banyak kasus yang tidak teradukan dan terungkap dengan berbagai dalih di baliknya.

Namun perlu dicatat di sini, selihai-lihainya menutupi isu negatif dan borok lembaga pendidikan formal di era digital saat ini, sebenarnya langkah protektif ini hanyalah bom waktu untuk bencana pada masa depan.

Sekali saja ada yang speak up atau bahasa gaulnya spill di media sosial, bencana atau krisis lembaga pendidikan formal itu sudah di depan mata karena "keganasan dan kegarangan" warga netizen +62.

Krisis internal dan eksternal

Sumber krisis yang bermula dari suatu isu dan insiden dapat berasal baik dari internal maupun eksternal lembaga pendidikan formal, sehingga hal ini mengemblemkan realitas bahwa setiap lembaga pendidikan sejatinya rentan terhadap potensi krisis.

Mengacu pada isu atau insiden yang berasal dari faktor-faktor di dalam lembaga pendidikan formal (internal), Andrew Griffin (2014) dalam bukunya “Crisis, Issues, and Reputation Management" mengelaborasi secara terperinci faktor-faktor penyebabnya mulai dari konflik internal, pelanggaran kebijakan, masalah budaya organisasi, permasalahan sumber daya hingga kinerja buruk organisasi.

Sementara itu faktor-faktor penyebab secara eksternal dijelaskannya secara gamblang mulai dari perubahan regulasi, perubahan pasar, perubahan sosial-politik, fluktuasi mata uang hingga krisis ekonomi.

Dalam konteks lembaga pendidikan formal, tentu saja faktor-faktor penyebabnya perlu dianalisis secara terperinci sesuai konteks masing-masing organisasi.

Pemetaan faktor-faktor yang berpotensi mendatangkan krisis benar-benar spesifik ada di masing-masing lembaga pendidikan formal.

Tak mengherankan, seiring dengan kemajuan "new media" bentuk-bentuk krisis di lembaga pendidikan formal pun menjadi beragam.

Persoalannya saat ini adalah manakala datang krisis yang disebabkan faktor-faktor, baik secara internal maupun eksternal, faktanya tak sedikit lembaga pendidikan formal yang gagap dan kelabakan dalam penangangannya sehingga citra dan reputasinya dipertaruhkan.

Bisa dikata secara umum lembaga pendidikan formal kita tidak siap menghadapi krisis, kecuali lembaga pendidikan formal besar di bawah yayasan pendidikan yang sadar dengan urgensi managemen krisis.

Mengabaikan krisis berkembang tanpa kendali merupakan tindakan yang tidak bijak, sia-sia, dan dapat merugikan lembaga pendidikan formal.

Begitu juga manakala organisasi atau yayasan pendidikan tersebut justru mencoba untuk menyembunyikan atau berbohong terkait krisis yang sedang mendera.

Manajemen krisis yang efektif

Untuk mengatasi krisis tentu saja diperlukan perencanaan khusus yang mampu merespons, menghadapi, dan menangani krisis dengan cepat dan tepat.

Komunikasi memainkan peran kunci dalam penyelesaian krisis dan strategi komunikasi yang efektif dapat membantu mengatasi ketidakpastian, konflik kepentingan, keterlibatan emosional, dan opini publik yang berkembang.

Manajemen krisis yang efektif dapat mencegah terjadinya ketidakpercayaan publik yang dapat merugikan citra dan reputasi lembaga pendidikan formal.

Krisis didefinisikan oleh sejumlah ahli sebagaimana gagas oleh Rachnat Kriyantono (2012) dalam bukunya "Public Relations & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif" sebagai situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan hasil yang tidak diinginkan (Devlin, 2007), lebih dari sekadar situasi darurat (emergency) (Barodzics, 2005).

Selain itu, situasi yang menyebabkan kerusakan-kerusakan fisik dan non fisik, seperti peristiwa yang membahayakan jiwa manusia (meninggal atau luka-luka) dan merusak sistem organisasi dan lingkungan secara keseluruhan, khususnya bagi korban (Duke & Masland, 2002; Kouzmin, 2008).

Krisis biasanya bersifat spesifik, tidak diharapkan, dapat terjadi setiap saat dan merupakan rangkaian beberapa kejadian, menimbulkan ketidakpastian yang tinggi dan dapat mengancam tujuan-tujuan organisasi (Seeger, Sellow & Ulmer, 1998).

Dari definisi-definisi tersebut, Rachnat Kriyantono menyimpulkan dengan apik beberapa karakteristik krisis, yakni peristiwa yang spesifik (specific event), krisis bersifat tidak dapat diharapkan dan dapat terjadi setiap saat, krisis menciptakan ketidakpastian informasi, menimbulkan kepanikan, menimbulkan dampak bagi operasional organisasi dan berpotensi menimbulkan konflik.

Nah, dihadapkan pada krisis yang mendera lembaga pendidikan formal, langkah konkret yang wajib dikedepankan adalah mengelola krisis agar tidak semakin memperburuk citra dan reputasi lembaga pendidikan formal. Upaya untuk mengatasi krisis ini disebut dengan istilah manajemen krisis (crisis management).

Tujuan manajemen krisis untuk menghentikan dampak negatif dari suatu peristiwa melalui upaya persiapan dan penerapan beberapa strategi dan taktik.

Karena itulah, peran public relations (humas) lembaga pendidikan formal dalam konteks krisis sangat vital. Sebagaimana digagas oleh Gary Kreps (1990) bahwa manajemen krisis merupakan proses yang menggunakan aktivitas public relations (humas) untuk mengatasi akibat negatif.

Terlebih, jika krisis sudah terjadi dengan masifnya pemberitaan di media massa dan berpotensi membesar, maka tiada jalan lain kecuali dengan secepat mungkin menerapkan manajemen krisis yang sistematis, seperti transparansi informasi yang setiap saat dapat diakses media massa alias bukan sebaliknya, yakni menutup-nutupi krisis.

Public relations (humas) lembaga pendidikan formal wajib tidak menutup informasi yang justru berpotensi menyebabkan kesalahan persepsi dan memunculkan isu-isu yang meluas dan bersifat negatif bagi organisasi.

Manajemen krisis pada dasarnya melibatkan upaya untuk mengontrol atau menahan perkembangan dan pertumbuhannya menjadi lebih parah.

Adapun tujuan akhir dari sebagian besar inisiatif manajemen krisis adalah untuk mencari penyelesaian sengketa dengan cara bijaksana yang menguntungkan semua pihak dan menghindari konflik yang tidak perlu.

Sebagai langkah konkret dalam penanganan krisis sebagaimana digagas Firsan Nova (2011) dalam "Crisis Public Relatons Bagaimana PR Menangani Krisis Perusahaan" maka lembaga pendidikan formal perlu mempersiapkan contingency plan (rencana cadangan untuk meminimalkan dampak negatif dan mengoptimalkan respons terhadap situasi yang tidak diinginkan.

Kemudian menunjuk official spokesperson (juru bicara) biar satu pintu, bergerak cepat (proaktif) agar bisa mengendalikan situasi sebelum menjadi lebih buruk, memberikan informasi yang akurat dan benar (transparansi informasi) dan jangan hanya mempertimbangkan kerugian, namun efek jangka panjang dari keberlangsungan lembaga pendidikan formal tersebut.

So, setiap lembaga pendidikan formal dimungkinkan mengalami krisis. Tidak ada satu pun lembaga pendidikan formal yang bebas dari insiden dan krisis.

Salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan lembaga pendidikan formal dalam manajemen krisis adalah tidak memiliki rencana.

Mereka mungkin memiliki tim atau komite manajemen krisis, namun jika mereka tidak memiliki rencana tentang apa yang harus dilakukan ketika krisis terjadi, maka ini sangat berbahaya karena tidak ada konsistensi dalam cara penanganan insiden.

Citra dan reputasi lembaga pendidikan pun dipertaruhkan. Kepercayaan masyarakat dipertaruhkan.

Dus, manajemen krisis di lembaga pendidikan formal menjadi keniscayaan dan memiliki urgensi sangat besar mengingat dampaknya yang sangat luas bukan hanya bagi peserta didik dan tenaga pendidik, melainkan bagi seluruh ekosistem, masa depan dan keberlangsungan lembaga pendidikan formal itu sendiri.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/12/11/105943071/urgensi-manajemen-krisis-di-lembaga-pendidikan-formal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke