Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mendorong Pendidikan Berkualitas yang Berkarakter Indonesia

Menurut tujuan nomor empat dari 17 tujuan SDGs, pendidikan berkualitas menjamin kualitas pendidikan inklusif dan merata serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua orang.

Tujuan ini berfokus pada seluruh anak dan kepribadian anak secara utuh meliputi perkembangan sosial, emosional, mental, fisik, dan kognitif.

Melalui pendidikan berkualitas, setiap peserta didik dibimbing untuk bertumbuh tanpa memandang jenis kelamin, ras, etnis, status sosial ekonomi, atau lokasi geografis.

Pendidikan berkualitas menempatkan peserta didik di pusat pembelajaran untuk memberdayakannya sesuai potensi yang diberikan Tuhan.

Pendidikan berkualitas memberi setiap anak kesempatan untuk berkembang secara inklusif, dan memberinya ruang untuk bermimpi tentang masa depan lalu mewujudkannya.

Kualitas pendidikan baru dalam konteks digitalisasi

Belyaeva L.A, peneliti bidang pendidikan dari Ural State Pedagogical University, Yekaterinburg, Russia (2020) menyatakan dalam pandangan terbaru kualitas pendidikan harus dipahami dalam konteks digitalisasi.

Pemahaman baru itu muncul dari dari filosofi pendidikan dan pemikiran pedagogis baru yang menegaskan bahwa ciri-ciri dari model pendidikan yang berkualitas adalah sebagai berikut.

Pertama, sesuai dengan realitas sejarah baru yang terkait dengan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang ditimbulkan kemajuan teknologi digital.

Kedua, memenuhi kebutuhan setiap individu dalam perkembangan holistik, pembentukan dunia spiritual individu, tidak terlepas dari kontradiksi saintisme dan anti-sains, teknokratisme dan humanisme.

Belyaeva L.A untuk mencapai kualitas pendidikan baru dan kualitas baru kehidupan, seluruh anggota masyarakat harus ikut berperan mendukung para guru di lembaga pendidikan.

Untuk itu, konsep profesionalisme guru perlu direvisi, dengan mempertimbangkan tugas sejarah baru digitalisasi pendidikan.

Saat ini, kata dia, masyarakat membutuhkan seorang guru dengan gaya berpikir inovatif, mampu bergerak fleksibel, dan beradaptasi secara profesional, serta mampu mendorong pertumbuhan kreatif yang mandiri pada anak didiknya.

Dengan demikian, guru/pendidik dapat mendampingi peserta didik untuk mengembangkan diri secara berkualitas dan membangun keahlihan yang dibutuhkan dalam masyarakat digital.

Upaya membangun pendidikan berkualitas, apalagi dalam konteks digitalisasi, bukan pekerjaan mudah bagi Indonesia. Indonesia masih saja berkutat dengan beberapa hal mendasar sebagai berikut.

Pertama, Indonesia belum memberikan prioritas tinggi pada Pendidikan Usia Dini.
Menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), pemerintah Indonesia hanya mengalokasikan 1,2 persen dari anggaran pendidikan untuk pengembangan pendidikan usia dini.

Oleh karena itu, ADB sangat mendorong perubahan dalam rincian anggaran di bidang Pendidikan Usia Dini.

Kedua, partisipasi dalam Pendidikan Dasar di Indonesia belum merata. Hingga kini, anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan cenderung menerima pendidikan berkualitas lebih tinggi di dibandingkan dengan anak-anak di daerah pedesaan, karena didukung fasilitas dan tenaga guru memadai.

Itu sebabnya ADB menyamakan pendidikan di Indonesia dengan “saluran pipa bocor”, di mana peserta didik akan mengalami kegagalan saat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Ketiga, Indonesia belum memiliki sistem pengalokasian dana yang baik. ADB mengamati sangat sedikit transparansi fiskal terkait pendidikan di tingkat kabupaten di Indonesia.

Kekhawatiran bahwa dana pendidikan yang disediakan di banyak kabupaten tidak digunakan untuk tujuan yang dimaksud.

Hal itu tercermin pada laporan yang menunjukkan bahwa 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi persyaratan standar pelayanan minimum.

Keempat, Indonesia belum mengembangkan sistem pelatihan kejuruan yang lebih baik. Hingga kini, pendidikan dan pelatihan kejuruan teknis adalah upaya yang terpisah antara pemerintah, masing-masing kabupaten dan sektor swasta.

Kelima, Indonesia belum memberikan penekanan yang cukup pada Pendidikan Orang Dewasa. Terbukti, hingga saat ini kurang dari 30 persen individu antara usia 25 dan 64 telah mencapai pendidikan menengah atas atau lebih tinggi.

Selain itu, dunia pendidikan Indonesia masih ditandai oleh ketidaksetaraan gender dengan tingkat melek huruf perempuan hanya separuh dari laki-laki.

Terkait digitalisasi, dunia pendidikan Indonesia juga masih terkungkung banyak masalah/kendala.

Menurut Economist Intelligence Unit (2020a), Indonesia menempati urutan ke-61 dari 100 negara untuk tingkat pendidikan dan kesiapan menggunakan Internet.

Posisi Indonesia jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang masing-masing berada di peringkat 22 dan 33.

Rendahnya literasi digital di Indonesia, juga tampak dalam wujud kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan.

Hingga kini, masih banyak sekolah, terutama di pedesaan, yang tidak memiliki prasarana seperti komputer, laptop, dan LCD proyektor dalam jumlah memadai.

Kendala lainnya adalah ketersediaan koneksi internet, listrik, gedung atau kelas yang sempit, perpustakaan kurang memadai, serta terbatasnya buku penunjang pembelajaran.

Permasalahan lainnya lagi adalah sebagian besar guru, terutama yang lahir di bawah tahun 2000, masih gagap teknologi. Sedangkan peserta didik yang mereka hadapi adalah manusia abad ke-21 yang sudah akrab teknologi informasi.

Selain itu, kurikulum pendidikan Indonesia, termasuk Kurikulum Merdeka Belajar, belum mengadopsi kemajuan pesat teknologi digital secara optimal.

Tantangan bangsa kita bukan saja mengupayakan pendidikan berkualitas, termasuk secara digital, melainkan juga pendidikan karakter.

Memang, pendidikan berkarater bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Bahkan sejak awal kemerdekaan, masa orde baru, dan pada orde reformasi sekarang, kita melakukan banyak langkah dalam kerangka pendidikan karakter dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda.

Namun, dalam kenyataannya, pendidikan berkualitas yang berkarakter masih jauh dari harapan. Ditengarai pascapembelajaran online di masa pandemi Covid-19, ada nilai-nilai yang merosot dalam karakter para peserta didik kita.

Nilai-nilai yang merosot tersebut di antaranya kejujuran, menghormati orang lain tak terkecuali orang yang lebih tua, tertib dan disiplin dalam mengikuti pembelajaran.

Sementara itu Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan yang digelar KPK di Jakarta, Selasa (4/7), memperlihatkan bahwa indeks integritas pendidikan nasional masih berada di level rendah.

Semakin tinggi jenjang pendidikan, integritas yang tecermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan justru makin rendah.

Pendidikan berkarakter global

Untuk membangun pendidikan berkualitas, kita perlu berikrar untuk secara konsisten menjalankan kegiatan pendidikan karakter. Secara umum kita harus merujuk ke nilai-nilai universial/global dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat digital.

Aspek penting dari pendidikan karakter global adalah pengembangan nilai-nilai seperti kesopanan, kejujuran, menghormati, dedikasi dan kasih sayang, ketangguhan, kepercayaan diri, motivasi, tekad/komitmen kuat, menghargai diri sendiri, kepercayaan diri, keberanian, integritas, kemurahan hati, kerendahhatian, dan rasa keadilan.

Seperti yang diusulkan World Economic Forum dalam laporan “New Vision for Education” (WEF, 2015: hal.5), kombinasi nilai-nilai tersebut dapat menjadi kunci untuk menjadi pribadi unggul di era digital.

Bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter global adalah tentang memperlengkapi peserta didik dengan keterampilan agar jadi anggota masyarakat yang bahagia dan produktif dalam era digital.

Keterampilan-keterampilan yang dimaksud adalah pertama, kegigihan dan kemampuan beradaptasi, memastikan ketahanan dan kesuksesan yang lebih besar dalam menghadapi rintangan.

Kedua, keingintahuan dan inisiatif, berfungsi sebagai titik awal untuk menemukan konsep dan ide baru.

Ketiga kepemimpinan dan kesadaran sosial dan budaya melibatkan interaksi konstruktif dengan orang lain dengan cara yang sesuai secara sosial, etis dan budaya.

Dengan nilai-nilai global dan keterampilan digital tersebut seseorang dapat menghadapi berbagai kejahatan dan kecurangan yang dimungkinkan oleh penerapan teknologi digital tanpa etika.

Selanjutnya, kita harus berjuang untuk memajukan pendidikan berkualitas yang berkarakter Indonesia. Berkenaan dengan itu, kita perlu secara tegas berikrar untuk tetap bahkan semakin setia pada amanat UUD 1945, sekaligus setia menjiwai dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Sebab dalam semangat UUD 1945 dan Pancasila, kita memiliki peluang besar untuk membangun pendidikan berkualitas yang berkarakter khas Indonesia.

Artinya dengan merujuk ke UUD 1945 dan sila-sila Pancasila, para pendidik tak hanya dapat membimbing para peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensi dirinya secara multidimensional, tetapi juga bisa membantu peserta didik untuk bertumbuh menjadi manusia Indonesia yang berketuhanan yang Maha Esa, beriman dan takwa serta memiliki akhlak yang mulia.

Selain itu, peserta didik pun dibimbing untuk bertumbuh menjadi pribadi yang menjujung tinggi harkat dan martabat manusia; mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta membangun kehidupan berbangsa yang rukun dan damai.

Akhinya, dalam semangat UUD 1945 dan Pancasila, lembaga pendidikan dan para pendidik akan lebih mudah membimbing para peserta didik untuk membangun karakter yang demokratis, toleran dan menjujung tinggi hukum, serta mengedepankan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Jadi, dengan pendidikan berkualitas yang berkarakter Indonesia, kita memiliki harapan besar untuk melakukan tranformasi sumber daya manusia guna mewujudkan Visi Indonesia Emas, 2045, yaitu menjadi negara berdaulat, maju, adil dan makmur.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/08/07/114548671/mendorong-pendidikan-berkualitas-yang-berkarakter-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke