Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Polemik PPDB Zonasi yang Tak Kunjung Dituntaskan

Semakin banyak terjadi praktik kecurangan seperti suap, pungutan liar, pemalsuan dokumen kependudukan, dan lain sebagainya. Aparat penegak hukum sudah mulai menerima berbagai laporan tentang hal ini.

Fenomena yang sangat memprihatinkan karena bertentangan dari esensi pendidikan. Pendidikan harusnya mengajarkan dan menumbuhkan integritas, kejujuran, serta kerja keras bagi para peserta didik.

Ironisnya, untuk mulai masuk sekolah saja, generasi penerus kita disuguhi perilaku koruptif dari oknum pihak sekolah, aparat pemerintah, termasuk orangtuanya sendiri.

Aneh juga jika kita sering mengeluh kenapa korupsi sulit sekali hilang dari Indonesia. Padahal semua itu karena kita mengajarkan anak-anak untuk korupsi sejak di bangku SD. Dan ini berlanjut terus ke jenjang lebih tinggi, bahkan terjadi juga di dunia kerja.

Sementara itu, PPDB zonasi tetap memunculkan keluhan masyarakat yang sama sejak diluncurkan tahun 2017, melalui Permendikbud No. 17 Tahun 2017.

Keluhan yang disampaikan perihal rasa ketidakadilan karena jarak sekolah dekat dengan rumah tapi tidak diterima, tidak dapat masuk ke sekolah yang diinginkan (biasanya dianggap favorit) walaupun peserta didiknya berprestasi, dan alasan lainnya.

Penulis adalah salah satu pendukung dari kebijakan PPDB zonasi dan ikut berperan aktif melakukan sosialisasi program ini.

Harus diakui bahwa kebijakan ini bukanlah program sempurna, tetapi memiliki landasan filosofis untuk menghadirkan keadilan sosial dan meletakkan bentuk pelayanan publik yang nondiskriminatif.

Pelayanan publik tidak boleh ada konsep favoritisme atau lebih baik dari yang lain, semua harus sama. Seperti kantor kelurahan yang tidak ada kantor kelurahan favorit, tetapi tergantung dari zona tempat tinggal kita.

Kondisi ini memang berbeda dengan era saat penulis bersekolah dulu, di mana siswa sekolah negeri maupun sekolah swasta sama-sama membayar SPP/uang iuran sekolah.

Kondisi ini yang menimbulkan munculnya sekolah negeri unggulan/favorit karena bergantung pada SPP dari siswa.

Saat kondisi sekolah negeri sudah tidak ada pungutan lagi, selayaknya semua sekolah memberikan pelayanan setara.

Meluruskan jalan

Polemik PPDB sebenarnya dapat dituntaskan apabila pemerintah sebagai penanggung-jawab urusan mencerdaskan kehidupan bangsa, taat pada konstitusi.

Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 berbunyi,“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Jadi pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan akses pendidikan untuk seluruh warga negara, di manapun mereka berada, bersifat inklusif, dan punya kewajiban konstitusional untuk membiayai seluruh kegiatan pendidikan dasar ini.

Faktanya, menurut data BPS, berdasarkan Angka Partisipasi Murni (APM), sampai hari ini masih ada hampir tiga persen anak usia SD yang belum bersekolah.

Data lain, hampir 20 persen anak usia SMP yang belum bersekolah, belum termasuk hampir 40 persen anak usian SMA/K yang belum bersekolah.

Di antara yang telah bersekolah, masih banyak yang tidak dibiayai pemerintah karena belajarnya di sekolah swasta.

Sementara mereka yang belajar di sekolah negeri juga belum semua dibiayai pemerintah seperti amanat konstitusi. Terkadang masih ada sekolah yang berjualan seragam, buku cetak, study tour, kegiatan olah raga/seni budaya, dan lain sebagainya.

Belum lagi pemerintah belum mampu menyediakan guru, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Melihat kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah memprioritaskan pemenuhan kewajiban konstitusional ini dengan membangun sekolah-sekolah yang jumlahnya sesuai dengan populasi warga negara usia sekolah dengan akses yang mudah dan membiayai kebutuhan operasional sekolah secara utuh.

Jika jumlah bangku yang tersedia untuk seluruh usia sekolah cukup, dan seluruh pembiayaan operasional sekolah ditanggung oleh pemerintah, maka polemik PPDB otomatis akan berhenti dengan sendirinya.

Dari pernyataan dan gestur Presiden Joko Widodo, sepertinya tidak ada upaya nyata untuk segera menuntaskan permasalahan ini.

Alih-alih memberikan pernyataan untuk mengurangi kegelisahan masyarakat tentang PPDB, Presiden justru mengolok-olok program SD Inpres dengan mengindikasikan bahwa kualitas gedungnya buruk.

Padahal, program SD Inpres terbukti sukses dalam membuka akses pendidikan, mengurangi buta huruf, dan meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat pada era orde baru.

Keberhasilan itu terangkum dalam penelitian yang dilakukan oleh seorang warga negara Amerika Serikat, Esther Duflo dan berhasil memenangkan hadiah nobel bidang ekonomi lewat penelitiannya tentang program SD Inpres tersebut.

Sebagai informasi, pada era Presiden Jokowi, pembangunan unit sekolah baru dan ruang kelas baru tidak lagi berada di bawah kendali Kemendikbudristek, melainkan KemenPUPR.

Sayangnya, seperti yang kita semua tahu fokus pembangunan KemenPUPR lebih kepada pembangunan jalan tol, bandara, Pelabuhan, kereta cepat, dan Ibu Kota Negara (IKN).

Tulisan ini bukan berarti menolak pembangunan infrastruktur tersebut, melainkan mengingatkan kembali agar memprioritaskan apa yang tertulis di konstitusi terlebih dahulu dibandingkan dengan yang tidak tertulis dalam UUD 1945.

Harus disadari bersama bahwa pendidikan merupakan hak asasi yang fundamental bagi seluruh umat manusia.

Sekolah negara dan Charter School

Polemik PPDB zonasi tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa ada solusi. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah tentunya dimulai dengan mengatur ulang anggaran pendidikan yang tahun 2023 berjumlah Rp 612 triliun dari APBN dan belum termasuk APBD.

Secara jumlah, penulis yakin bahwa untuk melaksanakan amanat pasal 31 ayat 2 UUD 1945, anggaran tersebut lebih dari cukup. Dengan catatan, anggaran-anggaran yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan harus dibuang.

Pembangunan unit sekolah baru terutama di daerah terpencil, pembangunan sekolah berasrama untuk daerah-daerah berpenduduk sedikit tetapi terpencar akibat kondisi geografis, dan pembangunan akses menuju sekolah-sekolah tersebut haruslah digenjot.

Kemudian sekolah negeri harus berubah menjadi sekolah negara, di mana statusnya menjadi satuan kerja (satker) dengan biaya unit per sekolah, bukan per siswa. Anggaran tersebut harus membiayai semua kegiatan dan operasional yang dibutuhkan. Tidak boleh lagi ada pungutan dalam bentuk apapun.

Untuk mempercepat proses terbukanya akses pendidikan untuk seluruh warga negara ini, Indonesia perlu mengimplementasikan model sekolah piagam atau Charter School.

Charter School adalah sekolah milik swasta, manajemen dan personelnya semua swasta, tetapi pembiayaannya 100 persen dari pemerintah.

Sama kondisinya dengan sekolah negara, di sekolah-sekolah ini tidak boleh ada pungutan apapun. Mekanisme pembiayaannya menggunakan biaya unit per siswa per tahun yang dihitung cukup untuk membiayai semua kegiatan sekolah.

Model sekolah ini sudah banyak dilaksanakan di luar negeri dan berdampak positif pada peningkatan akses layanan pendidikan publik.

Sekolah swasta akan menjadi pilihan bagi peserta didik jika merasa tidak sesuai dengan model pendidikan di sekolah negara maupun sekolah piagam.

Sekolah-sekolah swasta ini tidak perlu lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah dan sebaiknya memiliki kebebasan dalam menentukan kurikulum seperti kurikulum internasional dan dibiarkan untuk memiliki budaya sekolah sendiri.

Langkah-langkah di atas adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan pemerintah jika memang memiliki komitmen untuk menuntaskan kewajiban konstitusionalnya dalam bidang pendidikan.

Membangun manusia memang tidak akan tampak jika dibandingkan membangun bandara atau gedung. Namun, pembangunan SDM dibutuhkan untuk membangun bangsa dan negara. Penulis hanya sebatas memberikan pandangan dan saran.

Sebagai penutup, ada satu pertanyaan mendasar yang butuh dijawab Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan,“Kapan pemerintah akan memenuhi kewajiban konstitusional seperti yang tercantum dalam pasal 31 ayat 2 UUD 1945?”

Jika belum ada rencana konkret, sebaiknya segera menjadikan hal ini sebagai prioritas utama, minimal tercantum secara eksplisit dalam Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang sedang disusun oleh Presiden dan jajarannya.

Perlu diingat bahwa prioritas pembangunan periode kedua Presiden Jokowi adalah pembangunan SDM Unggul yang tidak mungkin terwujud jika akses pendidikan belum terbuka untuk semua warga negara.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/07/16/135833071/polemik-ppdb-zonasi-yang-tak-kunjung-dituntaskan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke