Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Revolusi Sunyi Dewi Sartika, Renungan Hari Perempuan Internasional

Oleh: Suherman | Analis Data dan Informasi Sains LIPI

KOMPAS.com - Dewi tidak berpidato segarang Soekarno. Tidak menulis tentang pendidikan sedalam Ki Hajar Dewantara. Tidak pernah hidup di pembuangan setragis Tan Malaka.

Dia “hanya” seorang wanita sederhana yang memiliki cita-cita sederhana dan bekerja dengan cara yang sederhana.

Akan tetapi di balik kesederhanaan itu tergambar jelas semangat yang membara, kemauan yang membaja yang akhirnya menghasilkan karya yang luar biasa. Gelora cita-citanya tidak padam karena minim fasilitas dan kemelaratan yang menimpa diri dan keluarganya.

Dewi tidak pernah dipenjara akan tetapi bukan berarti tidak menderita. Dewi tidak mengalami hidup di jeruji besi, akan tetapi bukan berati tidak pernah mengalami sunyi dan nyeri. Dewi juga tidak pernah hidup di pembuangan akan tetapi bukan berarti berada dalam hidup yang selalu menyenangkan.

Tantangan lain yang menghadang adalah dia bagaikan mendayung di antara dua karang: adat yang membelengu kaumnya dan kekhawatiran tuduhan subversif oleh pemerintah Hindia Belanda.

Dengan berbekal ilmu yang dia peroleh dari sekolah rendah (Europeesche Lagere School) maka mulailah mendayung mengarungi samudera kehidupan untuk berjuang memandirikan dan mengutamakan kaum wanita.

Dewi Sartika dan Sasakolaan

Alat perjuangan yang dia pilih adalah melalui sasakolaan—permainan membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan yang sekarang ini diistilahkan dengan literasi.

Sasakolaan, walaupun berupa permainan akan tetapi bukan berarti hanya main-main. Justru sasakolaan adalah metodologi pendidikan yang menyenangkan bagi anak-anak, sebuah proses pendidikan yang sama sekali bukan berarti sekolah bohongan.

Sasakolaan menjadi pembelajaran yang demokratis, egalitera dan partisipatif. Karena antara guru dan murid teman sepermainan dan nyaris seusia, maka tidak ada jarak psikologis dan sosiologis.

Sasakolaan itulah yang berhasil membentuk pribadi yang literate, yaitu pribadi yang sadar akan eksistensinya dan akhirnya mampu berpikir kritis terhadap sistuasi dan kondidisi.

Sasakolaan dijadikan Dewi sebagai tempat berjuang sambil bermain juga tempat dia menyalurkan hobi, membangun karier, dan menyemai idealisme. Sasakolaan adalah proses menyemai benih kemandirian bangsa yang dimulai sejak dini.

Belajar dari Dewi, ternyata untuk berkiprah tidak mesti menunggu akumulasi ilmu yang banyak yang diperoleh dari jenjang sekolah yang tinggi akan tetapi keahlian dan keterampilan dapat diperoleh dengan praktek langsung mengajar.

Justru dari sasakolaan itulah dia mendapatkan banyak ilmu dari murid-muridnya. Dewi memahami bahwa ilmu itu bisa didapat dari mana saja, termasuk dari para murid-muridnya.

Praksis sasakolaan merupakan proses pendidikan yang egaliter dimana meniadakan identitas guru-murid yang ada adalah dua orang sedang sama-sama belajar. Bersifat demokratis karena setiap peserta bebas berpartisipasi menurut kemampuannya masing-masing.

Terjadi juga proses pembelajaran yang dialogis, dimana setiap peserta didik bebas menerima dan memberikan pengetahuan secara timbal balik. Bagi Dewi pendidikan adalah proses untuk memerdekakan manusia, bukan industri jasa yang sangat transaksional seperti terjadi sekarang ini.

Dengan literasi menjadikan peserta didik terbangun kesadaran tentang siapa dirinya—yaitu para wanita yang masih dibelenggu oleh tradisi. Literasi menjadi senjata untuk melawan tradisi yang masih berupa tirani laki-laki.

Literasi juga akan membangun keinsafan tentang kemerdekaan, oleh karenanya pemerintah Hindia Belanda menganggapnya sebagai ancaman terhadap kewibawaan kekuasaan karena takut terbongkar wajah asli kolonialisme yang menghisap darah pribumi.

Dengan literasi juga bisa menghantarkan anak-anak pribumi menjadi tuan di atas negerinya sendiri, dan sebaliknya tanpa budaya literasi bisa menjatuhkan martabat penghuni ibu pertiwi menjadi kuli di negeri sendiri.

Dewi Sartika dan Jalan Literasi

Dewi memilih jalan literasi—jalannya para nabi pembawa risalah dan jalan para pahlawan pencetus revolusi. Dewi sangat yakin literasi adalah obor yang akan menerangi kegelapan masa depan kaum wanita.

Literasi akan mengangkat wanita menjadi manusia utama sesuai dengan nama sekolahnya, Sekolah Keutamaan Wanita.

Seorang wanita bisa menggapai keutamaan bila mampu mengintegrasikan antara pengetahuan dan keterampilan tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita (istri dari suaminya dan ibu bagi anak-anaknya).

Tidak seperti woman liberation yang bercita-cita ingin menyaingi bahkan ingin mengalahkan kaum laki-laki. Wanita harus berkualitas karena dia yang akan menjadi sekolah atau madrasah yang paling utama bagi anak-anakanya kelak.

Wanita juga harus mandiri supaya tidak tergantung kepada siapa pun termasuk pada suaminya karena ketergantungan adalah salah satu bentuk ketidakmerdekaan. Wanita adalah tiang negara.

Kuat atau lemanya bangunan sebuah negara sangat ditentukan oleh kualitas wanitnya baik kualitas intelektual, spriritual, dan emosionalnya.

Bumi Pasundan tidak dapat lagi melahirkan wanita seperti Dewi Sartika, akan tetapi semangatnya harus tetap hidup di masa sekarang.

Dewi Sartika dan Cita-cita Keutamaan Wanita

Hari ini mungkin sudah tidak ada lagi wanita yang tidak bisa membaca menulis dan berhitung. Sudah tidak ada lagi wanita dibelenggu oleh tradisi yang mengekang langkahnya untuk maju. Akan tetapi bukan berarti sudah tidak ada lagi belenggu yang mengikat mereka.

Hari ini semua wanita sudah bisa membaca akan tetapi banyak tidak bisa memaknai apa yang dibaca dan juga susah membaca yang bermakna.

Hari ini kaum wanita tidak dibelenggu oleh tradisi kolot yang mengharamkan partisipasi dan emansipasi, akan tetapi justru banyak kaum wanita yang terbelenggu oleh kebebasannya sendiri.

Mereka terpenjara misalnya oleh pekerjaan yang dicita-citakannya sehingga kehilangan keutamaannya sebagai wanita. Tidak lagi berperan sebaga istri untuk mendampingi suaminya dan tidak berperan sebagai sekolah/madrasah bagi anak-anaknya.

Spirit literasi Dewi Sartika harus dihidupkan kembali untuk mempersenjatai kaum wanita dalam melawan kejamnya neokolinialisme dan neoimperalisme dalam bidang ekonomoni politik, sosial, dan budaya.

Dimana banyak menjadikan kaum wanita tidak hanya sebagai budak-budak industri produksi barang-barang akan tetapi juga sebagai komoditas utama dalam bidang indusri hiburan.

Kemandirian dan keberanian untuk hidup mandiri tanpa lepas dari kodrat adalah buah dari api literasi yang harus dinyalakan setiap hari di kalangan kaum wanita.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/08/212112071/revolusi-sunyi-dewi-sartika-renungan-hari-perempuan-internasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke