Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membayangkan Nasib Jakarta Tanpa Status DKI

Kompas.com - 23/02/2022, 11:34 WIB
Kompasianer M Shendy Adam Firdaus,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Sumber Kompasiana

KOMPAS.com - Selain alasan pembangunan yang berkeadilan, kondisi Jakarta dengan berbagai kompleksitas permasalahan menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam pemindahan ibu kota.

Jakarta telah berkembang melampaui kemampuan dan daya dukung lingkungannya.

Namun, harus dipahami bahwa pemindahan ibu kota tidak akan mengatasi berbagai kesulitan Jakarta.

Banjir, kemacetan lalu lintas, polusi, dan banyak masalah lainnya belum terselesaikan.

Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan langkah apa yang harus diambil jika Jakarta kehilangan statusnya sebagai ibu kota.

Ibu kota yang tidak diinginkan

Fakta bahwa Jakarta adalah ibu kota republik tampaknya merupakan kebetulan sejarah. Kota ini juga kebetulan menjadi lokasi proklamasi Indonesia. Jakarta tidak diinginkan atau direncanakan sebagai ibu kota.

Baca juga: Sumber Biaya Kereta Api Cepat dan Ibu Kota Baru yang Disebut Bukan dari Dana JHT

Kenyataannya, Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia dibuat pada tahun 1964 dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan bahwa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya tetap sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.

Setelah hampir 19 tahun musyawarah, undang-undang disahkan untuk menunjuk ibu kota terbaik. Perdebatan soal pemindahan ibu kota bukanlah hal baru.

Bahkan hal itu terjadi di masa-masa awal revolusi kmerdekaan. Panitia Agung dibentuk oleh Presiden Soekarno untuk memilih calon ibu kota.

Keadaan darurat pada saat itu juga berdampak. Ibu kota sempat dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1947-1948 dan 1949-1950.

Di Bukittinggi, Sumatera Barat, juga diadakan pemerintahan darurat pada masa itu (1948-1949).

Menanggapi berbagai desakan dan seruan agar ibu kota dipindahkan, barulah pada tanggal 22 Juni 1962, tepatnya pada hari jadi kota Jakarta yang ke-435, Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa Jakarta akan tetap menjadi ibu kota.

Dua tahun kemudian, ia memberikan pidato yang sama, sehingga Keputusan Presiden No. 10/1964 diterbitkan surut hingga 22 Juni 1964.

Gagasan memindahkan ibu kota tidak benar-benar hilang setelah itu. Justifikasi bahwa Bung Karno telah memilih salah satu kota di Kalimantan Tengah untuk menjadi ibu kota baru sepertinya tidak tepat.

Setidaknya bisa kita merujuk pada penjelasan Penetapan Presiden Nomor 10 Tahun 1964, khususnya poin kedua yang berbunyi :

"Dengan dinyatakan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya tetap menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Jakarta, dapatlah dihilangkan segala keragu-raguan yang pernah timbul, berhubung dengan adanya keinginan-keinginan untuk memindahkan Ibu-Kota Negara Republik Indonesia ke tempat lain."

Di masa kepemimpinan Soeharto, sempat muncul kabar rencana pemindahan pusat pemerintahan ke daerah Jonggol, Jawa Barat.

Sedangkan pada era Susilo Bambang Yudhoyono juga ide ini pernah dikaji, meski tanpa menunjuk alternatif lokasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com