Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pentingnya Pendidikan Iptek untuk Kendali Risiko Perubahan Iklim

Kompas.com - 11/08/2023, 12:52 WIB
Komarudin Watubun,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

MAJALAH Time edisi tahun 1953 mengutip hasil riset ahli fisika Gilbert Norman Plass (22 Maret 1920 – 1 Maret 2004) asal Kanada tentang lonjakah karbon-dioksida (CO2) atmosferik global abad 20. Isinya, lonjakan konsentrasi CO2 dari sektor-sektor industri (emisi gas rumah kaca) di atmosfer berisiko meningkatkan rata-rata suhu panas planet Bumi.

At its present rate of increase, the CO2 in the atmosphere will raise the earth's average temperature 1.5° Fahrenheit every 100 years …if man's industrial growth continues, the earth's climate will continue to grow warmer,” ungkap Plass (1953) ke Time edisi 25 Mei tahun 1953.

Plass membuat modeling komputer rinci tentang lapisan-lapisan atmosfer. Tapi, para pemimpin dunia saat itu tidak peduli pada hasil riset Plass.

Jauh sebelum perkiraan kenaikan suhu panas Bumi dari model komputer Plass, tahun 1800-an, Count F. Volney menulis laporan perjalanannya tahun 1800 dari zona Kentucky hingga utara New York di Amerika Serikat: “Rain follows the plough!”atau hujan ikut bajak. Yakni alih-fungsi hutan skala besar sepanjang sisi timur bagian Utara AS ke lahan pertanian! Meski tidak semua warga masyarakat setuju (Spencer, 2016).

Baca juga: Bumi Makin Panas, Akankah Planet Ini Bertahan Selamanya?

Hasil riset akhirnya menemukan bahwa tiap zona hutan ditebang, selalu disertai aliran sungai selalu berkurang. Hutan-hutan gundul memicu aliran air tanpa jeda dan longsor, serta curah hujan merosot tajam.

Saat itu, di Eropa lahir istilah baru ‘hutan lestari’ untuk sumber daya perang. Konsep itu mula-mula lahir dari karya von Carlowitz, Ketua Royal Mining Office Kerajaan Saxony (kini Jerman) tahun 1713.

Dalam karyanya Sylvicultura Oeconomica (Anweisung zur wilden Baumzucht), von Carlowitz menulis (1713:87), "... Kita memanfaatkan hutan dan merawatnya." Hutan-hutan, papar von Carlowitz, sama pentingnya dengan roti kita sehari-hari. Pesan rawat hutan seperti roti ini seakan tutup buku, ketika revolusi industri melanda Eropa dan Amerika Serikat. Unsur pemicunya ialah revolusi energi, khususnya batu-bara dan minyak.

Jelang akhir abad 19 M, Svante Arrhenius (1896), ilmuwan asal Swedia , membaca tanda-tanda risiko revolusi industri dan energi itu. Arrhenius merilis teori bahwa suhu planet Bumi ditentukan oleh gas karbon-dioksida (CO2). Maka ia menyimpulkan bahwa masa-masa datang, Bumi semakin panas karena lonjakan penggunaan bahan bakar batu bara.

Teori Svante Arrhenius akhirnya terbukti. Artikel Popular Mechanics Magazine edisi tahun 1912 merilis satu laporan tren suhu semakin panas di Amerika Serikat; teori Arrhenius disebut-sebut dapat menjelaskan kondisi itu (Bell, 2021:82-84).

Tata-dunia telah beralih dari bangunan dasar keragaman-hayati dengan ‘the holy trinity of spices’—lada, pala, cengkeh—ke minyak dan batu-bara sebagai barometer pasar global. Dunia pun mulai terseret dan terperangkap ke kapitalisme fosil skala global.

Organisasi metereologi dunia (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) membentuk panel ahli perubahan iklim antar-pemerintah (Intergovernmental Panel on Climate Change / IPCC) tahun 1988. IPCC adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berkantor di Jenewa, Swiss. Wakil sekitar 195 negara mengisi peran di IPCC dengan memilih biro ilmuwan tiap 6-7 tahun (IPCC, 2023).

Setelah 26 tahun sejak 1988, IPCC baru merilis kesimpulan penting dan ilmiah yakni pengaruh manusia adalah penyebab dominan dari pemanasan global tahun 1951-2010 (IPCC, 2014; IPCC, 2014). Artinya, riset, kajian, dan pengetahuan ilmiah sangat lambang melacak dan merespons perubahan iklim selama ini. Atau pendididikan gagal menyusun konsep, modul, silabus, dan kurikulum pendidikan iptek perubahan iklim.

Baca juga: Benarkah Grafik Sejarah Iklim Tunjukkan Penurunan Suhu Bumi?

Tahun 2019 ahli-ahli National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) baru sadar bahwa iklim Bumi mulai panas sejak akhir 1800-an, khususnya suhu-suhu anomai di planet Bumi. Atau sejak revolusi energi yang memicu revolusi industri di zona Eropa Barat atau jejak awal energi fosil terpateri ke dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik negara-negara Eropa Barat.

Tenaga air dan angin mulai ditinggalkan, sebab tidak dapat disimpan; batu-bara dan minyak mulai dominan. Kini transisi dari sistem energi fosil ke energi ramah-lingkungan tentu membutuhkan novelti atau penemuan iptek.

Risiko Perubahan Iklim

Kini sudah ada konsensus ilmiah melalui IPCC bahwa iklim sudah berubah ke arah kian panas yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan manusia. Bagaimana itu terjadi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com