Teknologi dan politik telah mengubah cara kita produksi dan konsumsi energi selama 200 tahun terakhir. Begitu ungkap hasil riset dan kajian Vaclav Smil (2017) dan Govind Bhutada (2022). Sebelum Revolusi Industri hingga sekitar tahu 1850, manusia terutama bergantung pada biomassa untuk panas dan otot untuk energi kinetik.
Tahun 1859, minyak komersil pertama dari sumur dibor di Titusville, Pennsylvania, AS. Sejak tahun 1930, konsumsi batubara meningkat sebab pertumbuhan tenaga uap dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara khususnya di Eropa dan AS.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim, Otak Manusia Menyusut
Sejak tahun 1960-an, permintaan minyak melonjak tajam karena otomotif membutuhkan bensin sekitar 40 persen konsumsi energi global tahun 1970. Energi nuklir sejak akhir 1960, tidak mengubah kondisi ini, yakni tata-sosial ekonomi negara-negara bergantung pasokan minyak dan batu-bara.
Apa yang Bumi dan kita alami kini? Global Emisi Gas Rumah Kaca berdasarkan sektor dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa gas rumah kaca (GRK)/greenhouse gases (GHGs)—terutama emisi CO—meningkat super cepat akibat pertumbuhan global dan konsumsi sumber daya.
Data terbaru dari Climate Watch dan World Resources Institute tahun 2016, ketika total emisi global mencapai setara 49,4 miliar ton CO. Sekitar 73,2 persen emisi gas rumah kaca tahun 2016, tulis Iman Ghosh (2020) berasal dari sektor energi.
Di sisi lain, seruan para ahli agar para pemimpin negara-negara mengurangi emisi gas rumah kaca, seakan hanya ‘angin lalu’. Begitu pula, ketika panel sekitar 300-an ahli-ahli IPCC bersikap tegas bahwa perubahan iklim akibat ulah-manusia (Mark, et al., 2021).
Namun, para pemimpin dunia seakan nyaman menikmati ‘titanic syndrom’ yakni risiko kapal Titanic asal Eropa ke AS tenggelam di laut Atlantik, karena tidak peduli pada peringatan dini ada bongkahan atau gunung es tepat di depan kapal Titanic tahun 1950-an.
Kini kira-kira separuh emisi CO2 akibat kegiatan manusia telah diserap oleh tanaman di daratan dan lautan. Namun, tanaman dan laut juga mulai tidak berdaya. Maka badai panas dan kekeringan melanda tanaman dan manusia di darat (IPCC, 2019:133,144).
Tanah serap karbon jumlah besar dan melepasnya saat Bumi memanas (Melillo et al., 2017). Laut jadi asam oleh serapan CO2 dan panas; sirkulasi air laut berubah; fitoplankton lebih sedikit serap karbon dari atmosfer (USGCRP, 2017:93-95).
Zona-zona ekosistem pesisir tentu sangat berisiko akibat perubahan iklim—khusus pemanasan global. Awal abad 21, lapor IPCC, kira-kira separuh lahan basah dunia telah sirna karena perubahan iklim dan kegiatan manusia lainnya.
Di sisi lain, spesies-spesies di darat sangat tertekan; bahkan banyak spesies sirna di darat, sebab tidak ada zona lolos; sedangkan hewan laut masih dapat memilih zona migrasi ke arah kutub.
Begitu hasil riset dan kajian Poloczanska et al. (2013) dan Lenoir et al. (2020). Umumnya para ahli sepakat bahwa perubahan iklim memunahkan banyak spesies khususnya di darat (Urban, 2015).
Risiko lain ialah rapuh daya-tahan pangan. Ini terlihat dari tren data tahun 1981 – 2010 yakni hasil jagung, gandum, dan kedelai mulai menurun di seluruh dunia (IPCC, 2019:451). Beberapa ahli memperkirakan bahwa masa datang, perubahan iklim mengurangi hasil tananaman di seluruh dunia (Zhao et al., 2017; IPCC, 2019:439).
Apa para pemimpin dunia mulai terusik oleh tren risiko-risiko ini? Sejauh ini, keadaannya adem-adem saja. Itu terlihat dari transisi sistem energi dari fosil ke energi ramah-lingkungan.
Bukti lain ialah sejak 1950-an, kekeringan dan glombang panas silih-berganti dan kian meningkat (USGCRP, 2017:415). Namun, para pemimpin dunia masih adem-adem saja. Misalnya, jurnal ilmiah Scientific American edisi 29 April 2014 dan Burke et al. (2017) merilis kejadian sangat basah atau kering (anomali) meningkat selama monsun di India dan Asia Timur. Namun, para pemimpin di zona-zona itu masih adem-adem saja.