Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Laurentius Purbo Christianto
Dosen

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Memahami Hubungan China, Rusia, dan Korut Secara Kohesivitas Sosial

Kompas.com - 28/07/2023, 13:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENTERI Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, dan seorang pejabat tinggi China, Li Hongzhong, berkunjung ke Korea Utara (Korut) pada pertengahan pekan ini. Delegasi Rusia dan China mengunjungi Korut untuk menghadiri perayaan 70 tahun kemenangan rakyat Korea dalam Perang Pembebasan Tanah Air.

Kunjungan pejabat tinggi Rusia dan China ke Kort menunjukkan hubungan tiga negara yang semakin erat. Sergei Shoigu, saat bertemu dengan pejabat pertahanan Korut, bahkan menyatakan bahwa Korut adalah mitra penting Rusia.

Baca juga: AS Tak Punya Informasi soal Tentara yang Menyeberang ke Korea Utara

Teori Kohesivitas Sosial

Untuk memahami semakin eratnya hubungan Rusia, China, dan Korea Utara, kita perlu menengok teori kohesivitas sosial. Benih teori kohesivitas muncul di akhir abad 19 saat Le Bon (1897) mengungkapkan teori perilaku kolektif.

Benih itu terus bertumbuh, hingga tahun 1950 Festinger, Back, dan Schachter mengungkapkan konsep kohesivitas kelompok. Konsep ini yang kemudian berkembang menjadi kohesivitas sosial.

Saat ini konsep kohesivitas sosial semakin komprehensif, karena melibatkan prespektif psikologi, sosiologi, dan kesehatan masyarakat.

Teori itu juga dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena koalisi politik. Teori kohesivitas sosial berbicara tentang kelekatan antar anggota dalam suatu kelompok. Teori ini menyatakan bahwa ada kekuatan yang dapat mengikat individu-individu maupun kelompok-kelompok sosial menjadi satu kesatuan bersama.

Kekuatan itu bisa bersumber dari tujuan yang sama, nilai hidup yang serupa, atau latar belakang dan pengalaman yang sama. Pada kelompok yang memiliki kohesivitas sosial yang tinggi, anggotanya akan cenderung untuk bekerja sama dan mendukung satu sama lain.

Xavier Fonseca, Stephan Lukosch, dan Frances Brazier (2018) menjelaskan, kohesivitas terdiri dari tiga tingkat yang saling terkait satu sama lain, yaitu individu, komunitas, dan institusi.

Supaya terjadi kohesivitas sosial maka setiap individu (anggota kelompok) perlu motif untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut. Motif bisa terkait dengan tujuan, nilai, persepsi, dan partisipasi anggota.

Baca juga: Apa Motif Tentara AS yang Nekat Seberangi Korut?

Pada tingkat komunitas, kohesivitas sosial akan terjadi jika ada modal sosial, kepercayaan, loyalitas, dan solidaritas timbal balik antar anggota kelompok. Sementara pada level institusi, kohesivitas sosial akan muncul jika ada struktur organisasi kelompok yang jelas, di mana hal ini terkait dengan manajemen konflik, serta proses pengambilan keputusan.

Musuh Bersama yang Membuat Lekat

“Musuh dari musuhku adalah temanku”. Idiom ini tepat menggambarkan kohesivitas Rusia, China, dan Korut. Ketiga negara ini lekat karena memiliki musuh bersama yaitu Amerika Serikat (AS).

Tekanan dan pengaruh AS di Asia menyediakan motif bagi Rusia, China, dan Korut untuk bersekutu. Mereka sama-sama ingin melawan pengaruh AS secara global (di Eropa Timur, Semenanjung Korea, Timur Tengah, Afrika, dan kawasan Laut China Selatan). Mereka, terutama China, juga ingin memenangi “pertarungan” ekonomi dengan AS; sedangkan Rusia dan Korut bertarung ekonomi dalam embargo yang diberlakukan bagi mereka.

Rusia, China, dan Korut memiliki nilai serta sejarah yang agak serupa. Ketiga negara ini memiliki nilai-nilai yang konservatif, seperti nasionalisme dan otoritarianisme. Sejarah ketiga negara juga sama-sama dilandasi komunisme dan anti-imperialisme.

Nilai-nilai yang sama ini membuat ketiga negara lebih mudah membangun kepercayaan satu sama lain. Kunjungan pejabat tinggi Rusia dan China ke Korut menunjukkan pembangunan struktur kelompok yang kohesif.

Hal itu penting untuk mengantisipasi munculnya konflik di antara ketiga negara. Kepercayaan antar anggota kelompok dapat dijaga melalui peraturan dan komitmen yang jelas.

Kelekatan antara Rusia, China, dan Korut dapat semakin besar di masa mendatang, mengingat AS pasti tidak akan berhenti memberi tekanan, agar pengaruhnya di berbagai kawasan tidak hilang.

Semakin besar tekanan AS kepada Rusia, China, dan Korut, maka hubungan ketiga negara ini juga akan semakin lekat. Jika pergerakan AS semakin dirasa “liar” dan “mengancam”, maka sangat mungkin akan ada negara-negara lain yang menjadi lekat dengan Rusia, China, dan Korut.

Negara-negara lain yang mungkin bergabung adalah negara yang punya motif sama (sama-sama ingin melawan AS), nilai yang sama (konservatif), dan sejarah yang mungkin serupa.

Melihat negara-negara yang kohesif, sebenarnya sama seperti memperhatikan perilaku manusia. Psikologi humanistik memandang bahwa setiap manusia ingin eksis, pun sama dengan setiap negara juga pasti ingin eksis. Kohesivitas sosial Rusia, China, dan Korut adalah usaha mereka untuk eksis secara global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com