Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Lain Leiden Jerman, Lain Leiden Belanda

Kompas.com - 12/07/2023, 22:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI INDONESIA sebagai bekas koloni VOC yang merupakan lembaga bisnis andalan kerajaan Belanda adalah wajar apabila bahasa Belanda banyak dikenal terutama oleh generasi pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia.

Orangtua saya juga sedikit mengenal bahasa Belanda. Namun setelah pada tahun 70-an abad XX, saya belajar dan mengajar di Jerman wajar jika saya lebih mengenal bahasa Jerman ketimbang bahasa Belanda meski pada hakikatnya serumpun dengan bahasa Jerman seperti bahasa Indonesia serumpun dengan bahasa Malaysia.

Setelah membaca mahakarya Goethe berjudul “Die Leiden des jungen Werthers”, saya memahami kata Leiden di dalam bahasa Jerman berarti penderitaan-penderitaan sebagai plural dari penderitaan.

Terperangkap di dalam semantika bahasa Jerman, maka semula saya heran kenapa di Belanda bisa ada kota bernama Leiden.

Bahkan di Kota Leiden terdapat universitas tertua di Belanda yang memiliki perpustakaan dengan perbendaharaan buku-buku penting tentang Nusantara terlengkap di marcapada ini.

Apakah berarti nama Kota Leiden itu secara etimologis memang berasal dari penderitaan-penderitaan masyarakat Nusantara akibat banyak benda-benda bersejarah Nusantara diboyong oleh VOC ke museum-museum kerajaan Belanda di Leiden?

Ternyata dugaan etimologis saya itu total keliru sebab Leiden dalam bahasa Jerman beda dari Leiden dalam bahasa Belanda. Padahal kota Leiden secara geografis terletak bukan di Jerman, tetapi di Belanda tepatnya di Provinsi Zuid-Holland.

Di dalam bahasa Belanda, Leiden berarti memimpin yang di dalam bahasa Jerman adalah “Leiten” yang mirip tapi beda makna dari Leiden dalam arti derita-derita.

Namun dugaan semantika saya bahwa nama kota Leiden bermakna memimpin ternyata juga keliru.

Menurut dokumen abad IX, kawasan permukiman di Belanda Selatan tersebut semula disebut sebagai Leithon yang berasal dari bahasa Jermanik kuno “leitha” berarti kanal yang kini memang cukup banyak ditemukan di dalam kota Leiden.

Raja Willem I dari dinasti Oranye pada 1845 mendirikan Universitas Leiden sebagai hadiah penghargaan bagi warga Kota Leiden yang berjasa melawan agresi militer Spanyol terhadap Belanda pada 1844.

Seorang di antara para warga terhormat Leiden yang dianggap berjasa bagi konstitusi kerajaan Belanda adalah Johann Rudolf Thorbeke yang pada April 1848 perdana menulis Konstitusi Belanda di rumahnya di jalan Garenmarkt 9 di Leiden.

Reputasi Leiden sebagai "kota buku" berlanjut hingga abad ke-19 dengan pembentukan dinasti penerbitan oleh Evert Jan Brill dan Albertus Willem Sijthoff yang tersohor dalam penerbitan buku terjemahan.

Pada 1899, Sijthoff menulis surat kepada Ratu Wilhelmina mengenai penolakan terhadap Konvensi Berne untuk Perlindungan Karya Sastra dan Seni mengenai hak cipta internasional yang dikhawatirkan akan melumpuhkan industri penerbitan Belanda yang berpusat di Leiden.

Setelah sekilas menyimak sekelumit sejarah kota Leiden, saya memetik kesimpulan bahwa kota Leiden memang layak disebut sebagai kota pemimpin karena memang selalu berada di garda terdepan langkah-langkah perjuangan peradaban kerajaan Belanda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com