PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Perppu tersebut diterbitkan Presiden sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menjamin kepastian hukum bagi keberlangsungan investasi ke depannya.
Melalui konferensi pers, Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto menyatakan, perppu tersebut diterbitkan karena alasan mendesak, yakni krisis yang melanda negara-negara berkembang, dampak perang Rusia-Ukraina, serta antisipasi terhadap resesi global, inflasi dan ancaman stagflasi.
Perppu sejatinya merupakan produk hukum yang bersifat "luar biasa" (extraordinary), karena hanya presiden yang berhak menerbitkannya, tanpa terlebih dahulu dibahas bersama DPR, tanpa kewajiban melibatkan partisipasi publik. Namun kekuatan keberlakuannya setara dengan undang-undang yang disusun bersama DPR dengan melibatkan partisipasi publik.
Baca juga: Pakar Hukum Surabaya Ungkap 5 Alasan Perppu Cipta Kerja Tidak Tepat
Karena itulah, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Perppu hanya boleh dikeluarkan presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Indikator "kegentingan yang memaksa" telah ditafsirkan MK melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yaitu :
Putusan MK itu tentu mengubah paradigma pembuatan perppu. Sebelumnya, penerbitan perppu hanya didasarkan pada subyektifitas presiden untuk menilai apakah suatu keadaan memang genting. Kini menjadi diperketat dengan adanya syarat kumulatif dari putusan MK tersebut.
Dalam keadaan kembali normal pun, perppu tersebut harus dibahas kembali bersama DPR, dan DPR berhak menolak atau menyetujui perppu tersebut. Apabila DPR menolak, perppu tersebut harus dicabut dan apabila disetujui maka perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Namun, melihat konfigurasi politik di DPR saat ini, sulit untuk melihat DPR akan menolak Perppu Cipta Kerja.
Sejatinya perppu memiliki jangka waktu yang sementara, sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR di masa sidang berikutnya. Persetujuan DPR inilah yang memiliki peran penting untuk mengukur ada/tidaknya "kegentingan yang memaksa".
Kita melihat bahwa melalui Putusan MK Nomor 91/PUUU-XVIII/2020, MK telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena merupakan uji formil, bukan uji materi, maka implikasinya langsung ke keberlakuan seluruh UU.
Persolannya, Perppu Cipta Kerja itu mengatur beberapa substansi atau materi muatan dalam UU Cipta Kerja, seperti pekerja alih daya, sinkronisasi harmonisasi tata cara penyusunan perundang-undangan, hubungan keuangan pusat dan daerah, serta perubahan lain menyangkut penyempurnaan pengaturan sumber daya air. Padahal yang dipersoalkan dalam Putusan MK adalah adanya cacat prosedur dalam pembuatan undang-undangnya, belum menyentuh substansinya.
Baca juga: Litbang Kompas: Mayoritas Publik Menilai Perppu Cipta Kerja Tak Mendesak
Artinya, pemerintah dan DPR harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari putusan MK tersebut, dengan :
MK dalam praktiknya juga telah menolak untuk melakukan uji materi terhadap UU Cipta Kerja dengan alasan obyek pengujian sudah hilang (dianggap tidak ada) karena telah diputus inkonstitusional bersyarat, sehingga harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.
Penerbitan perppu tersebut juga tidak memenuhi syarat formil yang dinyatakan oleh MK, karena tidak ada kekosongan hukum, sebab berdasarkan amar putusan ke-4, MK menyatakan UU Cipta Kerja memang masih berlaku selama masa perbaikan. Namun hal tersebut terbatas untuk memberikan legitimasi terhadap tindakan-tindakan pemerintah atau peraturan pelaksana yang telah dilakukan sebelum adanya putusan MK.
Karena itu, kurang tepat apabila pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja, karena perangkat hukum yang ada sekarang masih memadai untuk dilaksanakan sembari dilakukan proses perbaikan oleh DPR dan presiden.