Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perppu Cipta Kerja dan Preseden Buruk Penegakan Konstitusi

Melalui konferensi pers, Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto menyatakan, perppu tersebut diterbitkan karena alasan mendesak, yakni krisis yang melanda negara-negara berkembang, dampak perang Rusia-Ukraina, serta antisipasi terhadap resesi global, inflasi dan ancaman stagflasi.

Perppu sejatinya merupakan produk hukum yang bersifat "luar biasa" (extraordinary), karena hanya presiden yang berhak menerbitkannya, tanpa terlebih dahulu dibahas bersama DPR, tanpa kewajiban melibatkan partisipasi publik. Namun kekuatan keberlakuannya setara dengan undang-undang yang disusun bersama DPR dengan melibatkan partisipasi publik.

Karena itulah, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Perppu hanya boleh dikeluarkan presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Indikator "kegentingan yang memaksa" telah ditafsirkan MK melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yaitu :

  1. Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-undang (UU) yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU ada tetapi tidak memadai;
  3. Adanya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang sangat lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Putusan MK itu tentu mengubah paradigma pembuatan perppu.  Sebelumnya, penerbitan perppu hanya didasarkan pada subyektifitas presiden untuk menilai apakah suatu keadaan memang genting. Kini menjadi diperketat dengan adanya syarat kumulatif dari putusan MK tersebut.

Dalam keadaan kembali normal pun, perppu tersebut harus dibahas kembali bersama DPR, dan DPR berhak menolak atau menyetujui perppu tersebut. Apabila DPR menolak, perppu tersebut harus dicabut dan apabila disetujui maka perppu tersebut menjadi Undang-Undang.

Namun, melihat konfigurasi politik di DPR saat ini, sulit untuk melihat DPR akan menolak Perppu Cipta Kerja.

Tak Tepat Terbitkan Perppu Cipta Kerja sebagai Tindak Lanjut Putusan MK

Sejatinya perppu memiliki jangka waktu yang sementara, sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR di masa sidang berikutnya. Persetujuan DPR inilah yang memiliki peran penting untuk mengukur ada/tidaknya "kegentingan yang memaksa".

Kita melihat bahwa melalui Putusan MK Nomor 91/PUUU-XVIII/2020, MK telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena merupakan uji formil, bukan uji materi, maka implikasinya langsung ke keberlakuan seluruh UU.

Persolannya, Perppu Cipta Kerja itu mengatur beberapa substansi atau materi muatan dalam UU Cipta Kerja, seperti pekerja alih daya, sinkronisasi harmonisasi tata cara penyusunan perundang-undangan, hubungan keuangan pusat dan daerah, serta perubahan lain menyangkut penyempurnaan pengaturan sumber daya air. Padahal yang dipersoalkan dalam Putusan MK adalah adanya cacat prosedur dalam pembuatan undang-undangnya, belum menyentuh substansinya.

Artinya, pemerintah dan DPR harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari putusan MK tersebut, dengan :

  1. Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan;
  2. Membuka seluas-luasnya pasrtisipasi masyarakat untuk mengkritik dan memberikan revisi terhadap UU Cipta Kerja (meaningful participation);
  3. Menghindari adanya perubahan substansi yang mendadak di sela-sela proses persetujuan bersama presiden dan DPR.

MK dalam praktiknya juga telah menolak untuk melakukan uji materi terhadap UU Cipta Kerja dengan alasan obyek pengujian sudah hilang (dianggap tidak ada) karena telah diputus inkonstitusional bersyarat, sehingga harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.

Penerbitan perppu tersebut juga tidak memenuhi syarat formil yang dinyatakan oleh MK, karena tidak ada kekosongan hukum, sebab berdasarkan amar putusan ke-4, MK menyatakan UU Cipta Kerja memang masih berlaku selama masa perbaikan. Namun hal tersebut terbatas untuk memberikan legitimasi terhadap tindakan-tindakan pemerintah atau peraturan pelaksana yang telah dilakukan sebelum adanya putusan MK.

Karena itu, kurang tepat apabila pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja, karena perangkat hukum yang ada sekarang masih memadai untuk dilaksanakan sembari dilakukan proses perbaikan oleh DPR dan presiden.

Hal ini menjadi penting, terutama untuk pelibatan partisipasi publik. UU Cipta Kerja mengatur banyak aspek dalam bidang ekonomi, investasi, ketenagakerjaan, pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup dan agraria, yang pada muaranya juga diberlakukan ke seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya untuk kalangan elite dan pengusaha.

Perppu seolah terlihat menjadi jalan pintas bagi pemerintah untuk menjamin kepastian hukum untuk kalangan tertentu saja.

Preseden Buruk Penegakan Konstitusi

Tindakan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja bisa dikategorikan sebagai pembangkangan konstitusional (constitusional disobedience), karena secara normatif dan praktik pemerintah tidak patuh terhadap putusan MK. Itu artinya juga pemerintah tidak patuh terhadap konstitusi.

Penerbitan perppu itu justru menimbulkan persoalan baru yang selama ini dihindari pemerintah, yaitu soal kepastian hukum bagi investor. Penerbitan perppu itu justru menimbulkan kesan bahwa aturan hukum kita mudah berganti-ganti.

Padahal pemerintah bisa mengambil jalan dengan menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai putusan MK, sehingga ke depan UU Cipta Kerja bisa berlaku lebih lama karena telah mengakomodir aspirasi masyarakat, dibuat dengan prosedur yang benar, serta sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Penerbitan Perppu Cipta Kerja menjadi preseden buruk karena menjadi tanda-tanda adanya regresi konstitusi. Pemerintah mengabaikan tuntutan proses kebijakan yang memadai, transparan, partisipatif, dan berhati-hati/seksama.

Tampak di sini putusan MK hanya sebagai macan di atas kertas, karena tidak ada political will yang kuat dari pemerintah untuk mematuhi putusan MK.

Otoritarianisme di masa lalu cenderung bergerak menggunakan mekanisme non-yuridis seperti kudeta atau pembungkaman langsung. Saat ini pola otoritarianisme bergeser dengan menempuh jalur-jalur formal yang seolah-olah konstitusional  tetapi sebetulnya bertujuan non-demokratis. Kini polanya tidak mengubah konstitusi tetapi memanipulasi tafsir konstitusi sedemikian rupa agar sesuai kepentingan para penguasa.

Huq dan Ginsburg dalam sebuah artikel berjudul “How to Lose a Constitutional Democracy” menjelaskan, istilah constitutional retrogession (kemunduran konstitusional) adalah istilah yang tepat untuk menjelaskan rusaknya instrumen demokrasi melalui upaya-upaya konstitusional. Kerusakan yang ditimbulkan tidak akan terasa secara langsung. Namun secara perlahan-lahan akan mengikis elemen-elemen dasar dari konstitusi suatu negara.

Penerbitan Perppu Cipta Kerja yang tanpa terlebih dahulu melalui pembahasan di DPR dan partisipasi publik, sepintas memang menyelesaikan problem mengenai inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja. Namun ke depan pola ini tidak baik untuk kemajuan konstitusi dan demokrasi negara kita.

Karena bisa saja setiap ada UU dianulir MK setelah melewati sebuah proses judicial review, pemerintah tinggal menerbitkan perppu lagi untuk menindaklanjuti putusan MK itu. Begitu pula ketika Perppu tersebut dilakukan judicial review ke MK dan dianulir, pemerintah bisa membuat perppu lagi untuk mengatasinya.

Hal ini dapat menimbulkan pola berulang dengan jalan pintas perppu yang dipergunakan tidak sebagaimana mestinya. Dari peristiwa di atas, terlihat adanya upaya pelemahan komitmen terhadap konstitusi.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/16/132758165/perppu-cipta-kerja-dan-preseden-buruk-penegakan-konstitusi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke