Hal ini menjadi penting, terutama untuk pelibatan partisipasi publik. UU Cipta Kerja mengatur banyak aspek dalam bidang ekonomi, investasi, ketenagakerjaan, pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup dan agraria, yang pada muaranya juga diberlakukan ke seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya untuk kalangan elite dan pengusaha.
Perppu seolah terlihat menjadi jalan pintas bagi pemerintah untuk menjamin kepastian hukum untuk kalangan tertentu saja.
Tindakan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja bisa dikategorikan sebagai pembangkangan konstitusional (constitusional disobedience), karena secara normatif dan praktik pemerintah tidak patuh terhadap putusan MK. Itu artinya juga pemerintah tidak patuh terhadap konstitusi.
Penerbitan perppu itu justru menimbulkan persoalan baru yang selama ini dihindari pemerintah, yaitu soal kepastian hukum bagi investor. Penerbitan perppu itu justru menimbulkan kesan bahwa aturan hukum kita mudah berganti-ganti.
Padahal pemerintah bisa mengambil jalan dengan menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai putusan MK, sehingga ke depan UU Cipta Kerja bisa berlaku lebih lama karena telah mengakomodir aspirasi masyarakat, dibuat dengan prosedur yang benar, serta sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja menjadi preseden buruk karena menjadi tanda-tanda adanya regresi konstitusi. Pemerintah mengabaikan tuntutan proses kebijakan yang memadai, transparan, partisipatif, dan berhati-hati/seksama.
Tampak di sini putusan MK hanya sebagai macan di atas kertas, karena tidak ada political will yang kuat dari pemerintah untuk mematuhi putusan MK.
Otoritarianisme di masa lalu cenderung bergerak menggunakan mekanisme non-yuridis seperti kudeta atau pembungkaman langsung. Saat ini pola otoritarianisme bergeser dengan menempuh jalur-jalur formal yang seolah-olah konstitusional tetapi sebetulnya bertujuan non-demokratis. Kini polanya tidak mengubah konstitusi tetapi memanipulasi tafsir konstitusi sedemikian rupa agar sesuai kepentingan para penguasa.
Huq dan Ginsburg dalam sebuah artikel berjudul “How to Lose a Constitutional Democracy” menjelaskan, istilah constitutional retrogession (kemunduran konstitusional) adalah istilah yang tepat untuk menjelaskan rusaknya instrumen demokrasi melalui upaya-upaya konstitusional. Kerusakan yang ditimbulkan tidak akan terasa secara langsung. Namun secara perlahan-lahan akan mengikis elemen-elemen dasar dari konstitusi suatu negara.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja yang tanpa terlebih dahulu melalui pembahasan di DPR dan partisipasi publik, sepintas memang menyelesaikan problem mengenai inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja. Namun ke depan pola ini tidak baik untuk kemajuan konstitusi dan demokrasi negara kita.
Karena bisa saja setiap ada UU dianulir MK setelah melewati sebuah proses judicial review, pemerintah tinggal menerbitkan perppu lagi untuk menindaklanjuti putusan MK itu. Begitu pula ketika Perppu tersebut dilakukan judicial review ke MK dan dianulir, pemerintah bisa membuat perppu lagi untuk mengatasinya.
Hal ini dapat menimbulkan pola berulang dengan jalan pintas perppu yang dipergunakan tidak sebagaimana mestinya. Dari peristiwa di atas, terlihat adanya upaya pelemahan komitmen terhadap konstitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.