KOMPAS.COM - Masyarakat Jawa Barat memiliki khazanah sastra lisan yang beragam.
Ada sastra lisan yang asli diciptakan di Tanah Sunda. Ada pula sastra lisan yang dipengaruhi oleh kebudayaan lain, seperti budaya Jawa dan Arab (Islam).
Menurut sejarawan Edi S. Ekadjati, mulai abad ke-17 di Jawa Barat, telah lahir berbagai naskah-naskah sastra yang ditulis dengan aksara Jawa, Arab, hingga Pegon.
Kesusastraan Sunda juga banyak yang berkembang sesuai nilai budaya Jawa.
Misalnya, bentuk sajak yang digunakan dalam penuturan bahasa Sunda disebut dangding, yang diadaptasi dari tembang-tembang macapat.
Baca juga: Perkembangan Seni Sastra pada Masa Kerajaan Kediri
Namun, masyarakat di luar tradisi menak-priyayi Sunda, masih melestarikan budaya lisan yang tidak ada di dalam komunitas lain di Nusantara, seperti repertoar pantun, yaitu sajak dengan delapan suku kata.
Berikut ini beberapa bentuk sastra lisan yang berkembang di wilayah Jawa Barat:
Menurut budayawan Jakob Sumardjo, sastra lisan yang terkenal sampai abad ke-20 adalah pantun Sunda.
Pantun dalam pengertian ini adalah cerita tutur yang diiringi petikan kecapi dan dilakukan semalam suntuk.
Cerita yang digunakan pun berasal dari cerita rakyat, seperti Lutung Kasarung Mundinglaya Dikusumah, Nyi Sumur Bandung, Gung Wanara, dan Panggung Karaton.
Hal ini memiliki andil dalam ikut membentuk tata nilai etik masyarakat Sunda.
Cerita yang digunakan pun memiliki fungsi yang mirip dengan wayang kulit di Jawa
Sisindiran dalam sastra Melayu merupakan sastra lisan paling kuat.
Dalam khazanah kesusastraan Sunda, sisindiran sudah ditemukan sejak abad ke-16, di antaranya dalam naskah Siksa Kanda'ng Karesian.
Sisindiran dinilai efektif dalam membangun komunikasi antarmanusia untuk menyampaikan pesan tertentu.