Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

3 Sastra Lisan Masyarakat Jawa Barat

Ada sastra lisan yang asli diciptakan di Tanah Sunda. Ada pula sastra lisan yang dipengaruhi oleh kebudayaan lain, seperti budaya Jawa dan Arab (Islam).

Menurut sejarawan Edi S. Ekadjati, mulai abad ke-17 di Jawa Barat, telah lahir berbagai naskah-naskah sastra yang ditulis dengan aksara Jawa, Arab, hingga Pegon.

Kesusastraan Sunda juga banyak yang berkembang sesuai nilai budaya Jawa.

Misalnya, bentuk sajak yang digunakan dalam penuturan bahasa Sunda disebut dangding, yang diadaptasi dari tembang-tembang macapat.

Namun, masyarakat di luar tradisi menak-priyayi Sunda, masih melestarikan budaya lisan yang tidak ada di dalam komunitas lain di Nusantara, seperti repertoar pantun, yaitu sajak dengan delapan suku kata.

Berikut ini beberapa bentuk sastra lisan yang berkembang di wilayah Jawa Barat:

Pantun

Menurut budayawan Jakob Sumardjo, sastra lisan yang terkenal sampai abad ke-20 adalah pantun Sunda.

Pantun dalam pengertian ini adalah cerita tutur yang diiringi petikan kecapi dan dilakukan semalam suntuk.

Cerita yang digunakan pun berasal dari cerita rakyat, seperti Lutung Kasarung Mundinglaya Dikusumah, Nyi Sumur Bandung, Gung Wanara, dan Panggung Karaton.

Hal ini memiliki andil dalam ikut membentuk tata nilai etik masyarakat Sunda.

Cerita yang digunakan pun memiliki fungsi yang mirip dengan wayang kulit di Jawa

Sisindiran

Sisindiran dalam sastra Melayu merupakan sastra lisan paling kuat.

Dalam khazanah kesusastraan Sunda, sisindiran sudah ditemukan sejak abad ke-16, di antaranya dalam naskah Siksa Kanda'ng Karesian.

Sisindiran dinilai efektif dalam membangun komunikasi antarmanusia untuk menyampaikan pesan tertentu.

Menurut Haji Hasan Mustofa, filsuf sekaligus sastrawan Sunda, ajaran tasawuf Islam disebarkan melalui sisindiran.

Sisindiran terbagi menjadi tiga, yaitu paparikan, rarakitan, dan wawangsalan.

Dongeng

Dongeng sejatinya merupakan cerita yang berisi hal tidak benar-benar terjadi, mengenai kejadian zaman dahulu di luar akal pikiran.

Misalnya, cerita tentang orang yang berubah menjadi batu, bisa terbang, dan menghilang. Ada juga cerita tentang binatang yang bisa berbicara layaknya manusia atau legenda tentang asal-usul suatu tempat dan lain-lain.

Kebanyakan orang mengartikan dongeng sama dengan ngabobodo buddi cengeng (membodohi anak yang cengeng).

Meskipun demikian, dongeng dianggap pelipur lara dan memiliki nilai pelajaran di dalamnya dan menjadi sarana alternatif orangtua dalam memberikan nasihat kepada anak-anaknya.

Dalam sastra Sunda, dongeng dibagi menjadi lima golongan, yaitu fabel (cerita binatang), legenda (cerita sasakala), sage (cerita karuhun/nenek moyang), parabel (dongeng orang dianggap berbeda, contohnya Si Kabayan), dan mite (dongeng tentang kepercayaan terhadap hal tertentu).

Referensi:

  • Ruhimat, Asep. (2011). Ensiklopedia Kearifan Lokal Pulau Jawa. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/22/150000279/3-sastra-lisan-masyarakat-jawa-barat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke