KOMPAS.com - Sultan Sibori Amsterdam adalah sultan Ternate ke-12, yang memerintah dari tahun 1675 hingga 1690.
Perjalanannya naik takhta tidak lepas dari peran VOC, yang telah mencapuri urusan Kesultanan Ternate sejak lama.
Sultan Sibori Amsterdam sempat berselisih dengan VOC dan melancarkan perlawanan.
Namun, sultan akhirnya takluk. Bahkan pada masa pemerintahannya, Kesultanan Ternate resmi menjadi vasal (wilayah bawahan) VOC.
Baca juga: Benteng Sentosa, Mata-Mata Belanda di Kesultanan Ternate
Sultan Sibori Amsterdam adalah putra sulung Sultan Mandarsyah, penguasa Ternate periode 1650-1675.
Ketergantungan Sultan Mandarsyah kepada VOC membuatnya menamai dua putranya dengan nama kota di Belanda, yakni Sibori Amsterdam dan Pangeran Rotterdam.
Ketika Sultan Mandarsyah wafat pada 1675, Sultan Sibori Amsterdam naik takhta dengan dukungan Belanda.
Untuk mendeklarasikan kesetiaannya kepada Belanda, Sultan Sibori Amsterdam pernah menyatakan, "Jika ayah saya setengah Belanda, saya pasti akan menjadi orang Belanda seutuhnya."
Seperti sang ayah, Sultan Sibori Amsterdam merasa perlu bekerja sama dengan Belanda untuk memperkuat kekuasaannya.
Pasalnya, saat itu VOC memang sedang berada di puncak kejayaannya.
Baca juga: Benteng Willemstad, Penunjang Perdagangan Cengkih di Ternate
Setelah penobatannya, Sultan Sibori mengutus pejabat kepercayaannya ke Batavia (Jakarta) untuk berunding dengan Gubernur Jenderal Jaan Maatsuyker.
Hasilnya, ditandatangani sebuah perjanjian pada 12 Oktober 1676 yang sangat merugikan Ternate.
Isi perjanjian tersebut manyatakan bahwa wilayah seberang laut Kesultanan Ternate di Kepulauan Ambon akan digabungkan ke dalam provinsi dan akan diangkat penguasa-penguasa khusus di Pulau Buru, Ambalau, Buano, dan Kelang.
Imbasnya, bermula dari Seram, Kesultanan Ternate kehilangan kontrol atas seluruh wilayah seberang lautnya di Maluku Tengah.
Di samping itu, lepasnya Buton dari kekuasaan Ternate membuat daerah kekuasaannya di Sulawesi Utara dan sepanjang pantai timur pulau tersebut tidak lagi loyal.