Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sultan Sibori Amsterdam dari Ternate dan Kisah di Balik Namanya

Perjalanannya naik takhta tidak lepas dari peran VOC, yang telah mencapuri urusan Kesultanan Ternate sejak lama.

Sultan Sibori Amsterdam sempat berselisih dengan VOC dan melancarkan perlawanan.

Namun, sultan akhirnya takluk. Bahkan pada masa pemerintahannya, Kesultanan Ternate resmi menjadi vasal (wilayah bawahan) VOC.

Dinamai seperti ibu kota Belanda

Sultan Sibori Amsterdam adalah putra sulung Sultan Mandarsyah, penguasa Ternate periode 1650-1675.

Ketergantungan Sultan Mandarsyah kepada VOC membuatnya menamai dua putranya dengan nama kota di Belanda, yakni Sibori Amsterdam dan Pangeran Rotterdam.

Ketika Sultan Mandarsyah wafat pada 1675, Sultan Sibori Amsterdam naik takhta dengan dukungan Belanda.

Untuk mendeklarasikan kesetiaannya kepada Belanda, Sultan Sibori Amsterdam pernah menyatakan, "Jika ayah saya setengah Belanda, saya pasti akan menjadi orang Belanda seutuhnya."

Seperti sang ayah, Sultan Sibori Amsterdam merasa perlu bekerja sama dengan Belanda untuk memperkuat kekuasaannya.

Pasalnya, saat itu VOC memang sedang berada di puncak kejayaannya.

Setelah penobatannya, Sultan Sibori mengutus pejabat kepercayaannya ke Batavia (Jakarta) untuk berunding dengan Gubernur Jenderal Jaan Maatsuyker.

Hasilnya, ditandatangani sebuah perjanjian pada 12 Oktober 1676 yang sangat merugikan Ternate.

Isi perjanjian tersebut manyatakan bahwa wilayah seberang laut Kesultanan Ternate di Kepulauan Ambon akan digabungkan ke dalam provinsi dan akan diangkat penguasa-penguasa khusus di Pulau Buru, Ambalau, Buano, dan Kelang.

Imbasnya, bermula dari Seram, Kesultanan Ternate kehilangan kontrol atas seluruh wilayah seberang lautnya di Maluku Tengah.

Di samping itu, lepasnya Buton dari kekuasaan Ternate membuat daerah kekuasaannya di Sulawesi Utara dan sepanjang pantai timur pulau tersebut tidak lagi loyal.

Untuk memulihkan loyalitas mereka, Sultan Sibori meminta bantuan dari Gubernur Maluku, Padtbrugge.

Atas dasar perjanjian-perjanjian VOC dan Kesultanan Ternate, Padtbrugge mau membantu sultan.

Berbalik menyerang Belanda

Meski "bersahabat" dengan VOC, Sultan Sibori Amsterdam tetap tidak senang dengan monopoli rempah-rempah VOC yang dipaksakan pada masa pemerintahan ayahnya.

Selain membuat kas istana selalu kurang, monopoli VOC membuat hubungan kerajaan dengan daerah-daerah bawahannya menjadi renggang.

Hubungan VOC dengan kesultanan memburuk ketika Sultan Sibori dan Padtbrugge berselisih terkait penyebaran agama Kristen di kesultanan.

Akhirnya, Sultan Sibori memilih mundur ke Jailolo di Pulau Halmahera dan secara terbuka mengobarkan perang terhadap VOC.

Peperangan meletus pada 1679, di mana sultan mendapat dukungan dari Halmahera Utara dan Bacan.

Namun, karena kubu sultan tidak solid, peperangan dapat dihentikan VOC pada 1681.

Pada Agustus 1681, Sultan Sibori Amsterdam ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Batavia untuk diinterogasi.

Sultan tidak diasingkan atau dieksekusi, tetapi dipaksa menandatangani perjanjian yang menyatakan Kesultanan Ternate menjadi bawahan VOC.

Pada 17 Juli 1683, status Kesultanan Ternate sebagai negeri berdaulat resmi dihapuskan dan menjadi vasal VOC.

Sejak itu hingga kematiannya pada 27 April 1690, Sultan Sibori tetap duduk di singgasana. Namun, perannya tidak lebih dari sekadar raja boneka.

Referensi:

  • Arsip Nasional Republik Indonesia. (2010). Citra Ternate dalam Arsip. Jakarta: ANRI.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/09/150000279/sultan-sibori-amsterdam-dari-ternate-dan-kisah-di-balik-namanya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke