KOMPAS.com - Prasasti Jaring merupakan salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Kediri.
Prasasti ini ditemukan di daerah Dusun Jaring, Desa Kembangarum, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Prasasti Jaring berasal dari tahun 1181, ketika Kerajaan Kediri diperintah oleh Raja Sri Gandra.
Baca juga: 8 Prasasti Peninggalan Kerajaan Kediri
Prasasti Jaring terbuat dari batu andesit berukuran cukup besar, yang memiliki tinggi 170 cm, lebar 71 cm, dan tebal 43 cm.
Isi prasasti ini ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno, yang dipahatkan pada bagian depan dan belakang prasasti.
Bagian depan memuat 25 baris isi, sedangkan bagian belakang terdapat 30 baris tulisan.
Isi Prasasti Jaring menyebutkan tentang peresmian sima, yakni bumi perdikan/daerah otonom di bawah kerajaan tertentu yang dibebaskan dari pajak, oleh Sri Kroncaryadhipa.
Peresmian sima terhadap Desa Jaring terjadi pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Marggasira tahun 1103 Saka, atau 19 November 1181 Masehi.
Disebutkan pula gelar abhiseka dari Sri Kroncaryadhipa adalah Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra.
Sri Gandra adalah raja ketujuh Kerajaan Kediri, putra dari Sri Aryeswara sekaligus cucu dari Raja Jayabaya.
Baca juga: Jayabaya, Raja Kediri yang Terkenal akan Ramalannya
Prasasti Jaring menceritakan Sri Kroncaryadhipa mengabulkan keinginan rakyat Desa Jaring berkaitan dengan anugerah raja sebelumnya (Sri Aryeswara) yang belum terwujud.
Pengabulan permohonan itu disampaikan melalui Senapati Mahapatih Sarwajala atau panglima angkatan laut.
Dapat diartikan bahwa pada masa Kerajaan Kediri, pejabat kemiliteran mengalami perluasan peran tidak hanya sebatas menangani urusan perang atau kemiliteran, tetapi juga urusan sipil masyarakat.
Bagi siapapun yang melanggar ketentuan raja terhadap sima yang diberikan kepada warga Desa Jaring, ditetapkan denda emas sebanyak 1 kati (1,5 kilogram) dan 5 suwarna (0,4 kilogram).
Selain itu, isi Prasasti Jaring juga menyebutkan nama-nama hewan untuk kepangkatan istana, misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, Kebo Waruga, Tikus Jinada, dan Macan Kuning.
Baca juga: Isi Prasasti Sirah Keting yang Ditemukan di Ponorogo
Nama kepangkatan menjangan, lembu, macan, gajah, kebo, dan tikus, bisa menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
Nama-nama hewan untuk kepangkatan istana juga menjadi tradisi di Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit yang berdiri setelah Kerajaan Kediri runtuh.
Referensi: