KOMPAS.com - Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan salah satu pergolakan yang terjadi setelah Indonesia merdeka pada 1945.
Tepatnya, pemberontakan RMS terjadi tanggal 25 April 1950, yang dipimpin oleh mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), Christiaan Robbert Steven Soumokil.
Salah satu tujuan dilakukannya pemberontakan RMS adalah agar wilayah Maluku dapat berdiri sendiri dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemberontakan pun berjalan cukup pelik. Pemerintah Indonesia memutuskan menumpas pemberontakan RMS dengan melakukan operasi militer.
Lalu, bagaimana akhir dari pemberontakan RMS?
Baca juga: Upaya Penumpasan Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Terjadinya pemberontakan RMS dilatarbelakangi oleh peristiwa bergabungnya Maluku ke dalam NKRI.
Keputusan ini pun menuai banyak dukungan sekaligus pertentangan.
Salah satu tokoh yang menentang bergabungnya Maluku ke dalam NKRI adalah Manusama, seorang pejuang RMS.
Menurut Manusama, bergabungnya Maluku dengan Indonesia hanya akan memicu masalah.
Dia pun mengadakan rapat bersama para penguasa desa di Pulau Ambon.
Dalam rapat itu, Manusama mengobarkan semangat antipemerintah RIS dan dia mengatakan bahwa orang Maluku menolak dijajah seperti orang Jawa.
Tidak lama setelahnya, RMS diproklamasikan yang secara resmi menandai bahwa republik ini sudah berdiri sendiri.
Untuk mengatasi kejadian ini, Kementerian Pertahanan RIS pun menyatakan bahwa berdirinya RMS harus dituntas dengan Operasi Militer yang dipimpin oleh Kolonel Kawilarang.
Baca juga: Christiaan Robbert Steven Soumokil, Tokoh Republik Maluku Selatan 1950
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI) dengan sandi Operasi Malam menerjunkan pasukan sebanyak 850 orang untuk melawan RMS.
Operasi ini dipimpin oleh Komandan Mayor Pellupessy.