KOMPAS.com - Kerajaan Sriwijaya menerapkan sistem monarki kedatuan. Oleh sebab itu, beberapa ahli sejarah lebih sepakat menyebut Sriwijaya sebagai kedatuan, bukan kerajaan.
Kedatuan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7, di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan.
Lalu mengapa Sriwijaya disebut kedatuan, bukan kerajaan?
Baca juga: Keistimewaan Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Adapun sejarah tentang pendirian Kedatuan Sriwijaya diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit yang berumur 605 Saka atau 683 Masehi.
Prasasti Kedukan Bukit diketahui sebagai prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu kuno.
Dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa pendiri Kedatuan Sriwijaya, Dapunta Hyang, berasal dari daerah Minanga Tamwan.
Isi Prasasti Kedukan Bukit menjelaskan bahwa Dapunta Hyang melakukan perjalanan suci dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang.
Dalam perjalanan suci siddhayatra itu, Dapunta Hyang membawa 20.000 tentara, 312 orang di kapal, serta 1.312 prajurit yang berjalan kaki.
Keberadaan dan kebesaran Sriwijaya juga tertulis dalam laporan seorang biksu dari China, I-Tsing, yang pernah singgah di kerajaan itu pada tahun 671.
I-Tsing singgah di Kerajaan Sriwijaya dalam perjalanannya dari China menuju India untuk mempelajari agama Buddha.
Ia mengisahkan bahwa Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda.
Beberapa ahli sejarah menilai, Sriwijaya lebih tepat disebut sebagai kedatuan, bukan kerajaan, karena negara itu menerapkan sistem monarki kedatuan.
Sriwijaya dilaporkan dipimpin oleh seorang penguasa yang diberi gelar datu.
Adapun datu adalah sebutan seorang pemimin (raja atau ratu) dalam bahasa Melayu, dengan gelar tertingginya adalah Datu Maharaja.