KOMPAS.com - Undang-Undang Gula atau Suiker Wet adalah sebuah peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda terkait budidaya tebu.
Di dalam UU Gula diatur bahwa pemerintah kolonial Belanda menghapus kewajiban tanaman tebu untuk diekspor ke luar negeri.
Sedangkan yang boleh diekspor, apabila tebu sudah melalui proses penggilingan dan berubah menjadi gula.
Keberadaan UU Gula membuka kesempatan bagi investor asing untuk membangun industri gula di Indonesia.
Baca juga: Undang-Undang Agraria 1870: Isi, Tujuan, Pengaruh, dan Pelanggaran
Setelah penyerahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda dan berakhirnya Perang Jawa, Van Den Bosch memperkenalkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel.
Sistem tanam paksa dilaksanakan mulai 1830, dengan mewajibkan petani di Indonesia untuk menanam tanaman komoditas, seperti kopi, teh, tebu, dan nila.
Tanaman tersebut wajib dijual ke Belanda dengan harga yang sudah ditentukan.
Melalui sistem tanam paksa, pemerintah kolonial Belanda berhasil menerima keuntungan sekitar 830-an juta florins.
Meski demikian, kesejahteraan rakyat di daerah jajahan tidak diperhatikan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Rakyat dipaksa memeras tenaganya hanya untuk menanam komoditas yang sudah ditentukan.
Selain itu, rakyat masih dibebankan pajak dan tanahnya juga mengalami kemerosotan kualitas.
Akibatnya, kemiskinan dan kelaparan melanda rakyat di Indonesia saat itu, yang akhirnya berpengaruh pada keuntungan pemerintah Kolonial Belanda.
Baca juga: Sugar Act: Latar Belakang, Tujuan, dan Dampak
Keuntungan pemerintah kolonial Belanda melalui tanam paksa juga merosot. Alhasil, pada 1870, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan Undang-Undang Gula atau Suiker Wet.
Tujuan Undang-Undang Gula adalah untuk memberikan kesempatan luas bagi pengusaha perkebunan gula.
UU Gula memberikan kepastian hukum bahwa hanya pribumi yang berhak memiliki tanah di jajahan Belanda. Orang asing atau swasta bisa menyewa tanah.