Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Tokoh Wayang Semar

Kompas.com - 04/03/2024, 16:30 WIB
Eliza Naviana Damayanti,
Serafica Gischa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Tokoh Semar di dalam dunia pewayangan merupakan pimpinan empat sekawan yang dikenal dengan julukan Punakawan

Dalam karakter pewayangan, tokoh Semar memiliki posisi yang terhormat jika dibandingkan tokoh-tokoh pewayangan yang lainnya. Semar adalah seorang penasihat sekaligus pengasuh para ksatria Pandhawa.

Sejarah 

Dalam Purwacarita, dikisahkan bahwa Sanghyang Tunggal menikahi Dewi Rekatawati, putri dari Sanghyang Rekatatama. Dari pernikahan tersebut, muncul sebuah telur bercahaya.

Sanghyang Tunggal dengan rasa kesal membanting telur itu, yang menyebabkan pecah menjadi tiga bagian. Yaitu cangkang, putih telur, dan kuning telur.

Kemudian tiga bagian itu menjelma menjadi tiga laki-laki, yaitu Antaga dari cangkang, Ismaya (Semar) dari putih telur, dan Manikmaya dari kuning telur.

Suatu hari, Antaga dan Ismaya berselisih karena ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Mereka mengadakan perlombaan menelan gunung.

Antaga mencoba melahap gunung sekali telan, tetapi gagal yang menyebabkan mulut robek dan mata melebar.

Sementara Ismaya memakan gunung dengan perlahan, namun tidak bisa mengeluarkannya setelah seluruh bagian gunung pindah ke dalam tubuhnya, membuatnya berbentuk bulat di dalam perutnya.

Baca juga: Upaya Melestarikan Wayang sebagai Aset Negara Indonesia

Sanghyang Tunggal mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya. Keduanya dihukum menjadi manusia biasa dan harus turun ke dunia.

Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan Tribhuwana dengan gelar Batara Guru, sedangkan Antaga dan Ismaya turun ke dunia.

Mereka menyandang nama Togog Tejomantri dan Bilung Sarawita, dan diberikan tugas untuk mengemong serta mengasuh bangsa.

Dan Semar, yang juga turun ke dunia, ditugaskan untuk mengemong dan mengasuh para manusia Satria yang memiliki watak santun dan budi pekerti luhur.

Nama lain Semar

Semar memiliki beberapa nama lain, yaitu:

  • Janggan Smarasanta
  • Ki Lurah Badranaya
  • Ki Lurah Nayantaka
  • Tualen
  • Bathara Sang Hyang Ismaya

3. Bentuk fisik 

Semar memiliki ciri khas fisiknya, seperti: 

  • Kuncung putih di kepala
  • Hidung sunthi yang dimilikinya berbentuk bulat kecil tanpa kepesekan
  • Tubuhnya gemuk dan bulat
  • Wajahnya yang bulat
  • Mata seperti berair
  • Tangan kiri mengepal dan tangan kanan menunjuk dengan jari telunjuknya
  • Kaki yang pendek
  • Dagu yang menonjol ke depan
  • Memakai perhiasan giwang lombok abang, gelang gligen, sabuk dawala, serta pocong dagelan yang bermotif poleng.

Filosofi bentuk badan Semar

Bentuk fisik dari tokoh Semar sangat Istimewa yang seakan-akan menjadi representasi simbolis dari seluruh jagad raya ini. Adapun filosofinya, yaitu:

  • Tubuhnya yang bulat mencitrakan sebagai simbol bumi, tempat tinggal bagi umat manusia dan makhluk lainnya.
  • Meskipun selalu tersenyum, matanya terlihat sembab. Hal itu memberikan gambaran simbolis tentang sukacita dan kesedihan.
  • Wajahnya tua akan tetapi gaya rambutnnya layaknya anak kecil. Hal ini melambangkan persatuan simbolis keberanian muda.
  • Meskipun sudah jelas berjenis kelamin laki-laki, kehadiran payudara ditubuhnya menambah dimensi simbolis sebagai representasi persatuan pria dan Wanita. Meskipun semar adalah penjelmaan dewa, tetapi semar memilih hidup sebagai rakyat biasa. Menjadi simbol dari hierarki yang ada antara atasan dengan bawahan.

Baca juga: Wayang: Pengertian, Asal-usul, dan Fungsinya

Keistimewaan Semar

Semar mempunyai delapan daya Mustika Manik Astagna, yang artinya:

  • Tidak pernah lapar
  • Tidak pernah mengantuk
  • Tidak pernah jatuh cinta
  • Tidak pernah bersedih
  • Tidak pernah merasa capek
  • Tidak pernah menderita sakit
  • Tidak pernah kepanasan
  • Tidak pernah kedinginan.

Referensi: 

  • Aziz, A. (2016). Simbol Kekuasaan Antara Legenda Semar dan Wacana Nietzsche tentang Kekuasaan. Surabaya.
  • Muljana, S. (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhrathara.
  • Zoetmulder, P. (1983). Kalangwan. Sastra Jawa Kuno selayang pandang. Jakarta: Djambatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com