Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Ungkap Merkuri di Atmosfer Meningkat Tujuh Kali Lipat

Kompas.com - 04/11/2023, 11:00 WIB
Usi Sulastri,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.comMerkuri, yang merupakan logam berat berbahaya, membawa risiko yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan ekosistem.

Baru-baru ini, penelitian mengungkapkan bahwa aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi merkuri di atmosfer hingga tujuh kali lipat.

Baca juga: Apakah Boleh Menyentuh Merkuri dengan Tangan?

Emisi merkuri yang berasal dari aktivitas manusia

Dilansir dari Science Daily edisi (1/11/2023), penelitian yang dilakukan oleh Harvard John A. Paulson School of Engineering and Applied Sciences (SEAS) menyatakan bahwa konsentrasi merkuri yang berpotensi beracun di atmosfer telah meningkat tujuh kali lipat sejak awal era modern sekitar tahun 1500 Masehi.

Tim peneliti yang dipimpin Elsie M. Sunderland, berhasil mengembangkan metode inovatif untuk memperkirakan emisi merkuri dari gunung berapi, sumber alami terbesar.

Dengan metode ini dan model komputer, mereka merekonstruksi tingkat merkuri di atmosfer sebelum era manusia.

Para peneliti memperkirakan bahwa sebelum manusia mulai memompa merkuri ke atmosfer, konsentrasi rata-rata merkuri sekitar 580 Mg.

Namun, pada tahun 2015, penelitian independen yang memeriksa semua pengukuran atmosfer mencatat bahwa reservoir merkuri di atmosfer mencapai sekitar 4.000 Mg, hampir tujuh kali lipat lebih besar dari perkiraan kondisi alam dalam penelitian ini.

Penyebab perbedaan ini adalah emisi merkuri yang berasal dari aktivitas manusia, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara, pembakaran sampah, industri, dan pertambangan.

“Methylmercury adalah neurotoksikan kuat yang terakumulasi secara hayati pada ikan dan organisme lain termasuk kita,” kata Sunderland, penulis senior makalah tersebut.

Baca juga: Ikan Tuna Mengandung Merkuri, Ini Cara Aman Mengonsumsinya

Mengukur merkuri di atmosfer sulit karena jumlahnya sangat sedikit, meskipun berdampak besar pada kesehatan manusia.

Para peneliti menggunakan sulfur dioksida sebagai indikator merkuri dalam gas vulkanik untuk memperkirakan emisi merkuri dari letusan gunung berapi.

“Menggunakan sulfur dioksida sebagai pengganti merkuri memungkinkan kita memahami di mana dan kapan emisi merkuri vulkanik terjadi,” ujar Benjamin Geyman, mahasiswa PhD di bidang Ilmu & Teknik Lingkungan di SEAS.

Penelitian juga menunjukkan bahwa walaupun merkuri bisa terbawa oleh angin dan berpindah jauh dari sumbernya, emisi dari letusan gunung berapi hanya berkontribusi sedikit pada kadar merkuri di tanah di sebagian besar dunia.

Seperti di beberapa wilayah seperti Amerika Selatan, Mediterania, dan Cincin Api Pasifik, di mana emisi vulkanik membuat identifikasi emisi manusia lebih sulit.

Sumber merkuri global

Dilansir dari EPA, Kamis (2/11/2023), secara global, pertambangan emas rakyat dan skala kecil merupakan sumber terbesar emisi merkuri antropogenik (37,7 persen).

Diikuti oleh pembakaran batu bara yang tidak bergerak (21 persen). Sumber emisi besar lainnya adalah produksi logam non-ferrous (15 persen) dan produksi semen (11persen).

Baca juga: Merkuri: Pengertian, Kegunaan, dan Efek Sampingnya

Berikut adalah daftar lengkap sumber emisi merkuri global pada tahun 2018:

  • Pertambangan Rakyat dan Skala Kecil 837.658 kg
  • Pembakaran Batubara Stasioner 473.777 kg
  • Produksi Logam Nonferrous 326.657 kg
  • Produksi Semen 233.168 kg
  • Limbah dari Produk 146.938 kg
  • Monomer Vinil Klorin 58.268 kg
  • Pembakaran Biomassa 51.860 kg
  • Produksi Logam Besi 39.903 kg
  • Produksi Klor-alkali 15.146 kg
  • Pembakaran sampah 14.944 kg
  • Penyulingan Minyak 14.377 kg
  • Pembakaran Minyak dan Gas Stasioner 7.130 kg
  • Kremasi 3.768 kg.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com