KOMPAS.com - Berdasarkan data dari Pescado Ruschel & De Jesus (2020), secara global, prevalensi migrain mencapai 12 persen dari total populasi dan menduduki nomor dua tertinggi sebagai penyebab hendaya (disability).
Selain itu, migrain juga disebutkan menjadi alasan tertinggi nomor 4-5 untuk kunjungan ke unit gawat darurat.
Kondisi migrain paling sering dialami sejak pubertas dan semakin banyak menyerang dengan rentang usia 35-45 tahun.
Meskipun migrain termasuk penyakit yang paling banyak dialami, tetapi Dokter Saraf dari RS Permata Cibubur, dr Irawati Hawari SpS mengatakan bahwa penyakit migrain bisa dicegah dan juga bisa diobati.
Baca juga: Gejala Migrain Tak Hanya Sakit Kepala Sebelah, Ini Penjelasan Ahli
Migrain menjadi salah satu nyeri kepala yang banyak dialami. Kabar baiknya, ada dua cara terapi atau tatalaksana untuk mengobati migrain ini.
1. Terapi secara farmakologi
Irawati menjelaskan, tatalaksana dengan cara farmakologis adalah terapi dengan menggunakan obat-obatan medis.
Tatalaksana dengan farmakologis dibagi atas dua kategori yaitu terapi abortif dan terapi profilaksis.
Untuk diketahui, terapi abortif adalah terapi akut yang berguna untuk mengurangi atau menghentikan serangan sakit atau nyeri kepala yang sedang terjadi.
Adapun berikut beberapa jenis obat yang bisa diberikan sebagai terapi abortif untuk migrain:
Sementara, terapi profilaksis, disebut juga dengan terapi obat-obatan preventif (pencegahan) yang bertujuan mengurangi risiko berulangnya serangan, serta mengurangi hendaya (disability).
Berikut beberapa jenis obat yang bisa diberikan sebagai terapi profilaksis untuk migrain:
2. Terapi secara non-farmakologis
Untuk terapi non-farmakologis adalah terapi yang dapat dilakukan tanpa konsumsi obat-obatan. Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah pola atau gaya hidup.