Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/04/2020, 07:03 WIB
Monika Novena,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Data global menunjukkan pria lebih rentan terinfeksi oleh virus corona.

Sejak pandemi Covid-19 pertama kali muncul di China, jumlah pria di seluruh dunia yang membutuhkan perawatan medis intensif serta meninggal lebih banyak dibandingkan wanita.

Di Indonesia sendiri, data yang baru saja di buka oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan hal yang serupa.

Berdasarkan laman resmi BNPB, per 23 April 2020 ada sebanyak 3.966 orang laki-laki yang positif virus corona. Sementara jumlah wanita yang positif Covid-19 berjumlah 2.489.

Baca juga: Kematian Pria Akibat Virus Corona Lebih Tinggi, Ini Penyebabnya

Kecenderungan ini mungkin terkait dengan tingginya prevelansi kondisi jantung dan paru-paru pada pria.

Kebanyakan pria punya kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol, dan terpapar polusi udara luar ruangan dengan tingkat yang lebih tinggi daripada wanita yang pada akhirnya memengaruhi kondisi jantung dan paru-paru mereka.

Namun selain faktor tersebut, ada cukup bukti yang mengungkap bahwa sistem kekebalan tubuh wanita pada dasarnya jauh lebih kuat dibanding pria.

Hal ini diungkapkan oleh profesor kesehatan masyarakat global University College London, Sarah Hawkes.

Wanita memproduksi hormon seks estrogen dan progesteron lebih banyak dibanding pria.

Kedua hormon ini membantu wanita memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat dan memberi perlawanan khusus ketika ada infeksi berbahaya yang menyerang tubuh.

Terapi hormon

Dengan pemikiran itu, para ilmuwan di Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles dan Renaissance School of Medicine di Stony Brook University berencana memberi pengobatan ke sejumlah pasien Covid-19 dengan hormon estrogen dan progesteron.

Mereka ingin melihat apakah terapi hormon itu dapat memberi manfaat pada pasien atau tidak.

"Kita mungkin tidak mengerti persis bagaimana estrogen bekerja untuk menetralkan Covid-19, tapi mungkin kita bisa melihat bagaimana efeknya pada pasien," kata Dr. Sharon Nachman, peneliti utama studi dari Univerity Stony Brook, dilansir Live Science, Selasa (28/4/2020).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com