Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Backlog" Hunian Ditargetkan Turun 30 Persen Tahun 2030

Kompas.com - 12/08/2023, 05:30 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kesenjangan atau backlog rumah dan keluarga yang mendiami rumah tidak layak huni ditargetkan turun sebesar 30 persen pada tahun 2030 mendatang.

Saat ini, masih terdapat sekitar 14 persen dari 72,8 juta rumah tangga Indonesia tinggal di rumah yang bukan milik sendiri (per tahun 2022). Angka ini turun bila dibandingkan tahun 2021, sebanyak 75 juta rumah tangga.

Sementara sebanyak 28,7 juta rumah tangga lainnya, atau sekitar 39 persen dari seluruh rumah tangga, menempati rumah tidak layak huni.

Chief Economist PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF Martin Daniel Siyaranamual mengungkapkan hal ini kepada Kompas.com, Jumat (11/8/2023).

SMF sendiri merupakan Sekretariat Ekosistem Pembiayaan Perumahan yang dibentuk pada 25 Januari 2023.

Baca juga: Semester I-2023, SMF Raup Pendapatan Rp 982 Miliar

Pemangku kepentingan lain yang terlibat adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur (DJPI) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), BP Tapera, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Bappenas, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Pengembang, serta Perum Perumnas.

"Jadi, perumahan tidak hanya bicara isu tentang backlog kepemilikan, melainkan juga rumah berkualitas, layak huni, dan dapat diakses oleh semua kalangan," ujar Martin.

Menurutnya, kondisi tersebut merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) sektor perumahan.

Terkait dengan data, perlu diperhatikan bahwa angka backlog kepemilikan pada tahun 2022 mengalami penurunan. 

Pada tahun 2021, ada sekitar 75 juta rumah tangga, dan pada tahun 2022 jumlah turun menjadi 72,8 juta rumah tangga. 

Baca juga: Tingkatkan Kapasitas Homestay Desa Wisata Salenrang, SMF Kucurkan Rp 420 Juta

Namun, turunnya backlog bukan disebabkan oleh peningkatan kinerja di sektor perumahan, melainkan karena terjadi penurunan jumlah rumah tangga di Indonesia.

Sebab itulah, Martin menegaskan, penyusunan kebijakan sektor perumahan perlu memerhatikan kondisi sosio-ekonomi.

Termasuk memperluas penetrasi industri keuangan yang saat ini masih cukup rendah, yang berarti bahwa kebijakan kepemilikan rumah atau peningkatan kualitas hunian melalui tabungan tidak bisa berdiri sendiri.

Hal ini tecermin dari rasio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita masih rendah yakni pada angka 2,99.

Bahkan, bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, rasio KPR terhadap PDB Indonesia masih kalah dari Thailand (27,61), Singapura (34,58), dan Malaysia (38,48).

Baca juga: Benahi 22 Rumah Kumuh di Mataram NTB, SMF Gelontorkan Rp 1,5 Miliar

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com