JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia dinilai sangat tertinggal dalam merealisasikan kepemilikan hunian bagi warga negara asing (WNA) dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan lainnya.
Padahal, Indonesia memiliki potensi besar dari segi pasar, stabilitas politik dan ekonomi, infrastruktur, kondisi iklim tropis, dan keindahan alam yang memesona.
Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Ignesjz Kemalawarta mengatakan, setidaknya ada tiga wilayah yang menjadi favorit orang asing untuk membeli properti.
“Kita jauh tertinggal dari negara lain, padahal setidaknya ada tiga wilayah di Indonesia yang diminati dan disukai orang asing yakni Jakarta, Bali dan Batam,” ujar Ignesjz Kemalawarta pada acara Sosialisasi Peraturan Kepemilikan Hunian untuk Orang Asing yang diselenggarakan REI di Jakarta, Kamis (3/8/2023).
Baca juga: Kategori Hunian yang Boleh Dibeli WNA, Rumah Mewah dan Rusun Komersial
Menurutnya, proses penjajakan regulasi kepemilikan hunian untuk WNA ini sudah dimulai sejak beberapa dekade yang lalu.
Butuh waktu yang lama sejak 1996 hingga akhirnya Pemerintah Indonesia membentuk peraturan yang layak lewat Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang dilengkapi dengan PP Nomor 18 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 18 Tahun 2021.
Di dalam beleid-beleid tersebut sudah diatur bahwa persyaratan WNA untuk memiliki hunian di Indonesia cukup hanya dengan paspor, visa atau izin tinggal.
Tetapi nyatanya, meski aturan tersebut sudah diberlakukan sejak 2021, namun hingga kini realisasinya belum terlaksana.
Belum adanya transaksi efektif pembelian hunian bagi WNA di Indonesia, kata Ignesjz, disebabkan beberapa permasalahan yang menjadi hambatan.
Dua yang terpenting adalah berkaitan dengan syarat validasi untuk pembayaran BPHTB akibat pemerintah daerah masih mensyaratkan WNA sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN) harus memiliki nomor peserta wajib pajak (NPWP).
“Padahal, sudah ada surat dari Dirjen Pajak yang menetapkan untuk WNA SPLN cukup memberikan nomor paspor yang berlaku dan tidak memerlukan NPWP untuk melaporkan pajaknya,” jelas Ignesjz.
Hambatan lain, tambahnya, terkait pemegang hak pengelola lahan (HPL) yang belum bersedia untuk memberikan rekomendasi transaksi untuk WNA.
Baca juga: Kementerian ATR/BPN: Aturan yang Hambat WNA Beli Properti Akan Diubah
Namun, jika mengacu kepada Permen No 18 tahun 2021 (pasal 13 dan 71) maka seharusnya tidak ada masalah bagi pemegang HPL untuk memberikan rekomendasi transaksi untuk WNI dan WNA.
Ignesjz menegaskan, permasalahan tersebut secara bertahap terus dibahas REI bersama Kemendagri yakni Ditjen Keuangan Daerah dan Ditjen Bangda, Kementerian ATR/BPN dan Pemda se-Jabotabek yang difasilitasi oleh Kementerian PUPR.
Ditambahkan, dalam waktu dekat juga akan dilakukan sosialisasi dengan pemda lainnya seperti di Bali, Jawa Timur, Lombok dan sebagainya untuk menyamakan persepsi terkait validasi BPHTB dan tanah HPL.