HUJAN turun menjelang magrib, diwarnai kekhidmatan sekaligus tawa ceria anak anak generasi keempat atau kelima penghuni emplasemen perkebunan di desa Tugu Utara ini.
Mereka baru selesai acara mauludan, di kaki hutan Gunung Kencana yang tingginya 1.802 meter di atas permukaan laut.
Di hutan itu hidup Nisaetus Bartelsi atau elang jawa yang terancam punah, konon juga harimau jawa. Kabut sore dan rintik hujan menambah suasana magis.
Pagi ini saya bangun, berjalan dengan tangan mengelus pucuk-pucuk Camelia Sinensis, atau teh asamica.
Hamparan Asamica membawa lamunan saya ke sejarah tempo dulu Indonesia pernah jaya sebagai penghasil teh terbesar didunia bagi kaum borjuis dunia.
Di sini, di Tugu Utara menghirup teh menghadap trio gunung Gede, Pangrango dan Salak sungguh satu "kemewahan visual dan batin" bak lukisan dewa-dewa.
Secercah pojok senyuman Tuhan ketika menciptakan bumi Parahyangan!
Itulah kehidupan estate perkebunan teh. Budaya yang terbentuk tiga hingga empat generasi menciptakan rona kehidupan khas yang menyatu dengan alam, seiring siklus tanam, kedatangan hama, menyehatkan tanaman dan seterusnya.
Kehidupan perkebunan sangat damai, romantis dan penuh kisah tutur verbal turun temurun. Indah sekali cara masyarakat menjaga lingkungannya.
Hidup di sini disatukan oleh rupa geografis bentang alam dan hutan, termasuk ngarai, flora dan fauna.
Kadang bergerak, kadang air berlimpah, merosot tanahnya. Itulah siklus alam dalam kawasan eco-region di lereng Gede Pangrango.
Pagi di kebun ini tidak lengkap tanpa mengagumi Telaga Warna dan Situ Cisaat atau Ciliwung Km Nol. Situ yang menjadi sumber mata air bagi sungai Ciliwung.
Menambah keyakinan saya bahwa kehidupan perkebunan yang damai dan lestari adalah kunci terjaganya alam di sini.
Minggu ini adalah perayaan Hari Tata Ruang, sebuah momen penting untuk kita melakukan refleksi dan aksi.
Waktu yang tepat untuk menyelamatkan keberlangsungan eco-region Gede Pangrango dan mengembalikan kejayaan kehidupan perkebunan nya melalui langkah-langkah konservasi.