Oleh: Deddy herlambang
TULISAN kali ini merupakan respons atas opini Bung Dony Pasaribu dengan judul “Benarkah Arsitek Ikut Bertanggung Jawab Atas Kemacetan Kota?” yang dimuat Kompas.com, 24/10/2020.
Memang benar tugas arsitek langsung adalah bukan untuk mengurusi kemacetan lalu lintas jalan.
Tugas arsitek sejatinya menyelenggarakan kegiatan untuk menghasilkan karya arsitektur yang meliputi perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/atau pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya, serta yang terkait dengan kawasan dan kota, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Arsitek.
Dalam UU tersebut disebutkan, tugasnya terkait dengan kawasan dan kota, dalam hal ini tentunya arsitek juga paham mengenai tata guna lahan kota dan aksesbilitasnya ke ranah (transportasi).
Tapi kali ini saya ajak berpikir secara out of the box, bagaimana kemacetan lalu lintas itu selalu terjadi di kota-kota baru.
Pada artikel sebelumnya telah saya sebutkan bahwa untuk memecahkan permasalahan transportasi diperlukan sinergi dari multi disiplin ilmu.
Kebetulan basis ilmu saya adalah arsitek, sehingga mafhum perencanaan dan perancangan dalam desain bangunan.
Dalam dunia transportasi terbagi dua yakni sarana dan prasarana. Sarana adalah kendaraan (mobil/bus/truk, sepeda motor, sepeda), kereta api, kapal laut atau pesawat terbang, sedangkan prasarana adalah jalan, rel KA (sinyal, telekomunikasi, listrik), jembatan, bangunan (halte, stasiun, terminal, bandara, pelabuhan laut).
Maka mengacu konteks ini, arsitek tetap bertanggung jawab dalam desain bangunan-bangunan transportasi dan fasilitas pendukung bangunan (taman, ruang terbuka hijau pedestrian, parkir).
Arsitek sebagai “perencana” atau studi mempunyai tugas pokok secara “makro” untuk memberikan output dan outcome bagi pengguna yang secara intangible (tidak dapat diukur dan tidak terlihat) yang aman, nyaman dan selamat.
Ketika arsitek berperan sebagai “perancang” bangunan dalam konteks “mikro” inilah, profesinya menjadi tangible (dapat diukur dan terlihat) seperti berapa jumlah ruangnya, ukurannya, bentuknya, warnanya, dan sebagainya.
Sebagai perancang, profesi arsitek tentunya harus tunduk terhadap klien atau bouwheer dan bekerja sesuai kerangka acuan kerja (KAK) yang telah ditetapkan.
Pekerjaan arsitek tidak hanya merancang bangunan saja dalam detail engineering design (DED) atau “tukang gambar”, namun ada peran yang lebih luas yakni sebagai perencana (planner).
Studi-studi perencanaan umumnya telah digariskan oleh Bappenas, seperti elementary study (ES), outline business case (OBC), final business case (FBC) atau pre-feasibility study (Pre-FS), dan Feasibility Study (FS).