Dalam studi-studi di atas tersebut, sebelum ke proses DED dan Amdal arsitek dapat mengusulkan kajian-kajian yang smart-think, inovatif, kreatif dan solutif dalam merencanakan prasarana bangunan.
Jadi arsitek tidak hanya bertugas sebagai “juru gambar” atau “kuli gambar”, atau setelah mendesain gambar lalu dibayar. Ada tugas lebih mulia dari arsitek, yakni merencanakan bangunan dan tapaknya yang humanis, beradab dan sehat.
Pekerjaan arsitek tidaklah sempit, tidak hanya menunggu menang lelang dari pemerintah dan swasta atau penujukan langsung. Namun arsitek dapat membuat proposal perencanaan dan perancangan yang ditawarkan kepada investor.
Dalam posisi inilah, arsitek bukan dalam posisi “kuli gambar” lagi namun sebagai pembuka lapangan pekerjaan baru dalam proyek, sekaligus membuka tarikan dan bangkitan perjalanan baru karena ada bangunan baru.
Almarhum Romo JB Mangunwijaya Pr., yang juga seorang arsitek memberikan definisi arsitektur pada tahun 1992 dalam bukunya Wastu Citra. Arsitektur adalah sebagai vastu vidya (wastu widya) yang artinya adalah ilmu bangunan.
Di dalam pengertian wastu terhitung juga tata bumi, tata lalu lintas (harsya, dhara, yana), tata gedung. Seni ini adalah suatu ilmu di dalam merancang bangunan. Arsitektur tersebut juga dapat atau bisa merujuk kepada hasil dari proses perancangan tersebut.
Dalam definisi tersebut Romo Mangun dengan tegas mengungkapkan ada lalu lintas dalam arsitektur, tentunya bukan selalu lalu lintas di jalan tapi ada aturan sirkulasi perjalanan dalam bangunan atau kawasan baik secara vertikal dan horisontal.
Dalam transport demand management (TDM) dikenal konsep push and pull. Push, menekan bagaimana masyarakat tidak menggunakan kendaraan pribadi, dan pull menarik pengguna kendaraan pribadi tadi untuk beralih ke angkutan umum massal.
Dalam konteks ini arsitek melakukan pull dengan mendesain prasarana yang aman, nyaman dan selamat, sehingga masyarakat tertarik menggunakan angkutan umum massal.
Misalnya, merancang prasarana transportasi angkutan massal pada stasiun kereta api atau terminal bus.
Tujuannya bagaimana caranya masyarakat tidak menggunakan kendaraan pribadi lagi namun tertarik menggunakan angkutan umum yang setiap hari mau pergi ke stasiun dan terminal bus.
Arsitek jangan sampai terjebak merancang desain konservatif di mana zona servis selalu terletak di belakang.
Contoh eksisting adalah kegagalan desain stasiun baru, misalnya peron stasiun KRL dengan panjang 250 meter, pintu masuk peron di ujung barat lalu zona servis (toilet) di ujung timur, ini sangat merepotkan.
Perlu diingat juga, pengguna transportasi umum massal sangat heterogen, terbagi penumpang disabilitas dan non-disabilitas.
Di sini, arsitek harus mampu melayani mereka semua dalam satu banguan stasiun. Tidak mungkin arsitek diajari oleh operator kereta api dalam desain stasiun.