Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hampir 22 Tahun, Batas Darat Indonesia-Timor Leste Belum Ditentukan

Kompas.com - 08/02/2024, 18:29 WIB
BBC News Indonesia,
Aditya Jaya Iswara

Tim Redaksi

DILI, KOMPAS.com - Sejak merdeka pada 2002, Timor Leste tak kunjung sepakat soal batas daratnya dengan Indonesia. Perundingan yang berlarut-larut, terutama untuk wilayah Noel Besi–Citrana atau Naktuka yang membatasi Kabupaten Kupang milik Indonesia dengan enklave Oecusse milik Timor Leste, disebut datang dari perbedaan tafsir batas dan sentimen masa lalu.

Pada Januari lalu, dalam kunjungan pertamanya ke Indonesia setelah kembali menjadi Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao sekali lagi membawa agenda perbatasan.

Ia dan Presiden Joko Widodo sepakat mendorong penyelesaian perundingan perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.

Baca juga: Xanana Gusmao Resmi Dilantik Lagi Jadi PM Timor Leste, Ini Janjinya

"Kami pada saat ini memiliki pemahaman yang lebih jelas mengenai isunya dan kami percaya di masa mendatang kita mendapatkan solusi dari permasalahan ini," kata Xanana pada Jumat (26/1/2024).

Pada 1999, Indonesia melepas Provinsi Timor Timur yang kemudian menjadi negara berdaulat Timor Leste pada 2002.

Perundingan perbatasan telah dilakukan Indonesia sejak 2001 dengan pemerintahan transisi bentukan PBB di Timor Timur (UNTAET), sebelum kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan resmi Timor Leste sejak 2002 melalui Komite Perbatasan Gabungan (JBC).

Hasil awalnya adalah Perjanjian Sementara 2005, yang menetapkan batas darat Indonesia dan Timor Leste sepanjang 268,8 kilometer dengan 907 titik koordinat.

Ini mencakup perbatasan Indonesia dengan wilayah Timor Leste di sebelah timur Pulau Timor dan dengan Distrik Oecusse, enklave Timor Leste di sebelah barat pulau.

Namun, perjanjian itu baru menyelesaikan sekitar 96 persen urusan perbatasan darat. Sisa 4 persen yang meliputi wilayah Noel Besi–Citrana, Bidjael Sunan–Oben, dan Dilumil-Memo belum disepakati karena perbedaan tafsir perbatasan antara dua negara.

Selain itu, isu di wilayah Subina-Oben juga belum tuntas karena warga Indonesia di sana menolak pelaksanaan survei penentuan batas, yang dinilai akan membuat lahan garapan mereka masuk ke wilayah Timor Leste.

Kabar baik datang pada 2013, saat Indonesia dan Timor Leste sepakat menggunakan garis tengah atau median untuk membagi wilayah Dilumil-Memo jadi dua. Kesepakatan ini lalu dituang dalam adendum perjanjian 2005.

Peta segmen wilayah Noel Besi?Citrana, Bidjael Sunan?Oben, dan Subina-Oben yang batas-batas daratnya dirundingkan Indonesia dan Timor-Leste sejak 2005.BBC INDONESIA Peta segmen wilayah Noel Besi?Citrana, Bidjael Sunan?Oben, dan Subina-Oben yang batas-batas daratnya dirundingkan Indonesia dan Timor-Leste sejak 2005.
Untuk mempercepat proses perundingan batas wilayah lain, pada awal 2017 kedua negara membentuk tim Konsultasi Pejabat Senior (SOC). Ini adalah tim kecil berisi delegasi kedua pihak yang bertugas membahas detail teknis penyelesaian urusan perbatasan.

Setelah menjalani lima pertemuan, tim SOC berhasil mencapai kesepakatan prinsip pada 2019, termasuk soal batas-batas Subina-Oben, penentuan titik ujung dan penarikan garis baru untuk Bidjael Sunan–Oben, serta penggunaan garis tengah sederhana untuk membagi dua Noel Besi–Citrana.

Namun, setelah delegasi Timor Leste membawa pulang hasil kesepakatan itu, muncul penolakan dari parlemen, khususnya soal batas darat wilayah Noel Besi–Citrana yang juga dikenal sebagai Naktuka, merujuk hasil studi Indriana Kartini, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Parlemen Timor Leste keberatan dengan kesepakatan batas wilayah darat tahun 2019 dengan pendekatan garis tengah sederhana," tulis Indriana dalam disertasinya soal perbatasan darat Indonesia dan Timor Leste untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia pada 2023.

"(Mereka) mengusulkan pembagian porsi wilayah yang lebih luas kepada Timor Leste, yakni kurang lebih 74 persen untuk Timor Leste dan kurang lebih 26 persen untuk Indonesia."

Dari sana, proses penetapan batas darat kedua negara kembali macet dan kesepakatan pada 2019 pun urung diratifikasi dalam bentuk adendum kedua perjanjian 2005.

Baca juga: Myanmar Usir Diplomat Timor Leste Buntut Pertemuan dengan Pemerintah Bayangan

"Di 2019 itu disepakati bahwa penyelesaian perbatasan Naktuka dan dua segmen lainnya itu satu paket. Jadi kalaupun sudah ada kesepakatan untuk Subina dan Bidjael Sunan, tapi kalau yang Naktuka belum selesai, itu belum bisa dikatakan selesai secara sepenuhnya," kata Indriana pada BBC News Indonesia, Jumat (2/2/2024).

Masalah jadi semakin pelik karena, kata Indriana, hanya Indonesia yang menganggap Naktuka sebagai zona steril, yang berarti tidak boleh ada aktivitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik di sana sebelum perundingan usai.

Pemerintah Timor Leste, misalnya, sempat berusaha membangun pos imigrasi di dekat Naktuka, lalu mengeluarkan pernyataan bahwa Naktuka telah menjadi miliknya, dan bahkan mengadakan sensus di sana pada 2010.

Pada 2016 pun ditemukan 63 keluarga—semua warga Timor Leste—yang telah menempati Naktuka. Mereka disebut membangun balai pertemuan, depot logistik, saluran irigasi, dan tempat penggilingan padi di sana.

Tidak terima, masyarakat adat Amfoang sempat mengancam akan mengusir orang-orang Timor Leste yang dinilai telah menempati lahan leluhur mereka di Naktuka.

Bisa dikatakan, semakin panjang perundingan, semakin pelik pula urusan di lapangan.

Pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Republik Demokratik Timor-Leste, Kay Rala Xanana Gusmao, di Istana Kepresidenan Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada Jumat, 26 Januari 2024 membahas sejumlah hal, mulai dari isu bilateral hingga kawasan. Kedua pemimpin antara lain bersepakat untuk mendorong penyelesaian perundingan perbatasan kedua negara.presidenri.go.id via BBC INDONESIA Pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Republik Demokratik Timor-Leste, Kay Rala Xanana Gusmao, di Istana Kepresidenan Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada Jumat, 26 Januari 2024 membahas sejumlah hal, mulai dari isu bilateral hingga kawasan. Kedua pemimpin antara lain bersepakat untuk mendorong penyelesaian perundingan perbatasan kedua negara.
Bayang-bayang sejarah nenek moyang

Bagi warga Timor Leste, Naktuka adalah bagian dari Distrik Oecusse, yang dipercaya menjadi tempat misionaris Portugis ordo Dominikan pertama berlabuh di Pulau Timor pada 1515. Kontak pertama ini dianggap jadi bagian penting yang membentuk identitas mereka.

Belum bisa dipastikan kapan sesungguhnya Portugis pertama menjejakkan kaki di Pulau Timor. Namun, doktor bidang sejarah Didik Pradjoko mencatat, pada awal 1515 kapal-kapal dagang Portugis memang rutin mengunjungi pulau itu untuk membeli kayu cendana.

Bila ditelusuri lebih jauh, para pedagang China bahkan disebut telah menyambangi pulau-pulau di Nusa Tenggara seperti Flores dan Timor pada abad ke-6 untuk membarter keramik dan sutra yang mereka bawa dengan kayu cendana.

Meski perdagangan kayu cendana marak, para liurai atau raja setempat tidak mengizinkan pedagang asing mendirikan permukiman tetap di pantai-pantai Pulau Timor.

Karena itu, pendatang Portugis membangun permukiman sekaligus basis perdagangan di Teluk Ende dan Larantuka di Pulau Flores yang letaknya tak jauh.

Mereka pun mendirikan permukiman, gereja Katolik, dan benteng di Pulau Solor setelah misionaris Dominikan tiba di sana pada 1561.

Tak lama setelah datang ke Indonesia di akhir abad ke-16, Belanda ikut tergiur kayu cendana dari Timor.

Pada 1613, armada Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) menyerang benteng dan menghancurkan kekuatan Portugis di Solor. Orang-orang Portugis dan sebagian penduduk setempat yang beragama Katolik lantas mengungsi ke Larantuka.

VOC membangun benteng dan pelabuhan di Solor, yang diharapkan dapat menjadi pusat perdagangan kayu cendana. Namun, gempa besar pada 1648 meruntuhkan benteng VOC dan menewaskan sejumlah orang Belanda di Solor, memaksa mereka menarik diri.

Kepergian VOC dari Solor membuka jalan bagi Portugis untuk memperkuat kehadiran mereka di Larantuka serta membangun sejumlah permukiman baru di daerah sekitar, termasuk di Konga di sebelah selatan Larantuka dan Wureh di Pulau Adonara.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com