Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

William Lai Jadi Presiden Baru Taiwan, Bagaimana Hubungannya dengan China?

Kompas.com - 21/01/2024, 19:02 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: Yuchen Li/DW Indonesia

TAIPEI, KOMPAS.com - Hasil pemilihan presiden dan parlemen Taiwan menjadi berita buruk bagi Beijing dan kemungkinan akan membuat hubungan kedua belah pihak tetap dingin, kata para ahli kepada DW.

Pada Sabtu (13/1/2024) malam, Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa di Taiwan berhasil mengamankan jabatan presiden ketiga berturut-turut.

Hal ini memecahkan rekor karena tidak ada partai politik yang berkuasa lebih dari dua periode sejak pulau tersebut memilih pemimpin pertamanya pada 1996.

Baca juga: Pokok Persoalan Konflik China dengan Taiwan

Presiden terpilih William Lai Ching-te baru akan memulai masa jabatannya pada 20 Mei. Dalam pidato kemenangannya, ia mengatakan bahwa Taiwan telah memilih untuk "berpihak pada demokrasi" alih-alih menuju otoritarianisme.

Malamnya, Kantor Urusan Taiwan di bawah Pemerintah China menganggap sepi kemenangan ini. Kantor tersebut menyatakan bahwa hasil pemilu tidak mewakili opini publik arus utama Taiwan.

Kantor Urusan Taiwan menambahkan bahwa pemilu ini tidak dapat membendung "tren yang tidak dapat dihentikan menuju penyatuan kembali Tanah Air."

Beijing memang mengeklaim Taiwan sebagai wilayahnya. Di bawah pemerintahan pemimpin Xi Jinping selama satu dekade terakhir, China memperkuat tekadnya untuk bersatu kembali dengan pulau yang diperintah secara demokratis tersebut.

William Lai Ching-te yang berusia 67 tahun meraih sekitar 40 persen suara melawan dua kandidat lainnya yakni Hou Yu-ih dari partai oposisi utama Kuomintang (KMT) dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP) yang relatif baru berdiri.

"Mereka (China) tidak menyukai Lai. Ini berita buruk karena orang yang mereka tidak inginkan untuk menang justru menang," kata Lev Nachman, ilmuwan politik di Universitas Nasional Chengchi Taiwan, kepada DW.

Namun "ada hikmahnya dari sudut pandang RRC (Republik Rakyat China)," kata Nachman. Ia menyoroti bahwa Lai tidak memperoleh 50 persen suara. Hal ini berarti: "Mayoritas masyarakat tidak memilih DPP atau Lai. Itu masalah besar."

Sementara pakar lain percaya bahwa kemenangan DPP telah sesuai ekspektasi China. Chang Wu-ueh, pakar hubungan lintas selat di Universitas Tamkang, mengatakan kepada DW bahwa sebagian besar pejabat China telah memperkirakan hasil ini dan sedang mempersiapkan kemungkinan tanggapan.

"Langkah-langkah intimidasi militer dan tekanan ekonomi sebelum pemilu kemungkinan besar akan ditingkatkan di era setelah pemilu," menurut Chang Wu-ueh.

Baca juga: Pilpres Taiwan 2024: William Lai Menang, Partai KMT Akui Kalah

Hubungan China-Taiwan diperkirakan tetap dingin

Taiwan, yang berjarak sekitar 1,6 kilometer dari China, berpotensi menjadi salah satu titik konflik paling krusial di dunia. Dalam delapan tahun terakhir kekuasaan DPP, dialog resmi antara kedua kubu terhenti.

Dengan mulai menjabatnya Lai, Washington dan negara-negara Barat lainnya pun secara cermat mengamati bagaimana kebijakannya terhadap China dapat mengubah situasi yang sudah tegang.

Halaman:
Baca tentang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com