Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iga Diaska Pradipta
Tentara Nasional Indonesia

Analis Pertahanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional

Akankah Tiongkok Melakukan Invasi terhadap Taiwan?

Kompas.com - 19/01/2024, 12:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERSETERUAN antara Taiwan dan Tiongkok merupakan konflik berlarut yang kembali menjadi perbincangan hangat di tengah Pelaksanaan Pemilu Presiden Taiwan pada 13 Januari 2024 lalu.

Di tengah banyaknya pendapat bahwa Tiongkok akan menggunakan kekuatan militernya untuk menginvasi Taiwan, namun penulis berkeyakinan Tiongkok tidak akan melakukannya.

Tiongkok akan terus menggunakan indirect strategy untuk mencapai tujuannya reunifikasi dengan Taiwan.

Mengidentifikasi tujuan akhir Tiongkok

Berdasarkan Colin Gray dalam bukunya “The Strategy Bridge: Theory for Practice”, grand strategy menyelaraskan antara pengalokasian sumber daya dan upaya nasional (ways dan means) untuk mencapai tujuan akhir (ends).

Dalam konteks Konflik Tiongkok-Taiwan, penulis menilai bahwa tujuan akhir Tiongkok adalah rejuvenasi nasional 2049 dalam peringatan 100 tahun kemerdekaan, termasuk reunifikasi Taiwan dengan Daratan Tiongkok.

Rejuvenasi nasional ini diinterpretasikan dengan Tiongkok sebagai negara sosialis modern yang makmur sejahtera, kuat, dan maju.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jalan yang harus ditempuh oleh Tiongkok untuk dapat menyelaraskan dengan tujuan akhir yang hendak dicapai tersebut.

Tentu ada banyak faktor yang memengaruhi. Namun sebagai kesimpulan di awal, penulis berargumen bahwa invasi militer merupakan opsi yang kontradiksi dengan pencapaian tujuan akhir sesuai visi Tiongkok di 2049.

Invasi Rusia terhadap Ukraina setidaknya memberikan pelajaran kepada dunia bahwa sifat alamiah perang, yaitu “kabut perang” dan “friksi” nyata adanya.

Kabut perang adalah ketidakpastian hasil dari pelaksanaan perang akibat dari interaksi berbagai faktor yang terlibat.

Sedangkan friksi dalam perang adalah perbedaan aktualisasi perang dengan perencanaan akibat berbagai faktor yang tidak dapat dikendalikan dan di luar perhitungan perencanaan.

Meskipun memiliki kekuatan militer yang superior, baik dalam kualitas dan kuantitas, Rusia tidak dapat memenangkan perang secara cepat dan efektif melawan Ukraina yang inferior.

Rusia berhasil didesak oleh Ukraina, notabene negara yang jauh lebih kecil, untuk menghadapi perang berlanjut dan mengakibatkan jumlah korban signifikan, baik secara personel maupun materiil, termasuk sanksi ekonomi Barat.

Terlebih, keengganan Tiongkok sebagai negara sahabat Rusia untuk membantu upaya invasi menyebabkan Rusia melakukan perang sendirian. Hal mengindikasikan efek resiprokal bahwa Rusia juga tidak akan membantu Tiongkok jika kemudian hari melakukan invasi terhadap Taiwan.

Sebaliknya, Taiwan justru telah mengamankan jasa dukungan keamanan dari Amerika Serikat dan kemungkinan dukungan dari negara tetangga lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com