Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andreas Doweng Bolo
Dosen

Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan

Mengenang Paus (Emeritus) Benediktus XVI

Kompas.com - 04/01/2023, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JURNAL sayap kiri Italia, MicroMega, edisi 2/2000 menurunkan kajian tiga teolog dan salah satunya adalah tulisan Kardinal Joseph Ratzinger (yang kemudian dipilih menjadi Paus dan mengambil nama kepausannya Benediktus XVI).

Dalam kata pengantar jurnal tersebut, Kardinal Ratzinger diperkenalkan sebagai “la quintessenza dell’ ortodossia Cattolica” (intipati iman Katolik yang benar). Sebuah sebutan yang memang menggambarkan peran besar Ratzinger dalam menggawangi ajaran Gereja dalam menghadapi berbagai tantangan dan dinamika zaman yang dasyat.

Baca juga: Kata-kata Terakhir Paus Benediktus XVI Sebelum Meninggal

Sebutan itu tak berlebihan karena dia lebih dari 30 tahun berbakti sebagai Kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman (Praefectus Congregationis pro Doctrina Fidei). Dalam posisi itu, Ratzinger tidak melihat iman sebagai sesuatu yang tertutup tetapi sebagai keterbukaan.

Kardinal Ratzinger hadir dan dengan terbuka berdialog dengan berbagai kelompok masyarakat dengan ketajaman rasional mendalam dan refleksi teologis mendasar. Hal itu dibuktikannya dengan kesediaanya berdialog misalnya dengan Jurgen Habermas, salah satu filsuf paling berpengaruh hingga saat ini.

Pada 19 Januari 2004 dalam seminar di “Katolische Akademie” Bayern di Munchen, Ratzinger sepanggung dengan Habermas membahas tema besar “Basis pra-politis moral bagi sebuah negara liberal”.

Makalah Habermas dan Ratzinger kemudian diterjemahkan oleh Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko ke dalam Bahasa Indonesia tahun 2005 dalam bentuk buku berjudul Dialektika Sekularisasi-Diskusi Habermas- Ratzinger dan tanggapan. Dikatakan dalam pengantar buku itu bahwa Ratzinger mengizinkan karyanya di Jurnal MicorMega digunakan dengan alasan “pe stimolare il dibattio sulla verita della religione Cristiana” (untuk mendorong pembicaraan mengenai kebenaran agama Kristen).

Ketajaman dan keterbukaan serta aspek kritis Habermas tampak dalam tulisan tersebut. Ratzinger dengan sangat terbuka berdialog dengan Habermas, filsuf yang seperti Max Weber mengatakan dirinya “religiös unmusikalisch” (tak punyak bakat religius).

Kardinal Ratzinger juga menunjukkan bahwa keterbukaan pada realitas dunia tidak berarti meninggalkan inti pati iman Kristen. Hal itu bisa dilihat dari keteguhannya pada tradisi iman itu dalam dokumen yang dikeluarkan ketika Ratzinger menjadi kepala ajaran iman yaitu “Dominus Iesus” (Pernyataan tentang Yesus Tuhan).

Baca juga: Rangkaian Pemakaman Paus Benediktus XVI di Basilika Santo Petrus

Pada paragraf pertama dokumen itu perihal kesetiaan pada tradisi iman Gereja bisa dilihat kutipan utuh Syahadat Konstatinopel hasil Konsili Konstantinopel 1 tahun 381. Hal itu menunjukkan keteguhan Ratzinger pada tradisi iman Gereja tetapi sekaligus keterbukaannya pada rasionalitas.

Pada akhir tulisan dalam seminar di München tersebut, Ratzinger menandaskan dua hal utama. Pertama, dia mengakui bahwa memang ada patologi-patologi dalam agama sehingga kita perlu bersandar pada terang akal budi.

Namun, perlu diingat juga bahwa akal budi memiliki patologi juga yang acapkali tak disadari oleh umat manusia zaman sekarang. Karena itu, baginya keduanya harus terus berkorelasi, antara akal budi dan iman, akal budi dan agama. Iman dan akal budi dipanggil untuk saling menjernihkan dan menyembuhkan.

Kedua, hukum dasar harus dikonkretkan dalam realitas interkultural zaman sekarang. Ratzinger mengakui bahwa partner utama iman kristiani adalah rasionalitas sekular Barat namun itu tidak berarti kita terjebak dalam eurosentrisme. Ratzinger justru mengatakan bahwa baik iman Kristen maupun rasionalitas sekular Barat harus terbuka, mendengar kebudayaan-kebudayaan lain.

Ratzinger merupakan Paus yang pertama dalam lebih kurang 500 tahun sejarah kepausan yang mengundurkan diri. Pilihan ini tak lepas dari ketajaman berpikir, keterbukaan, dan kerendahan hatinya.

Di sanalah Paus Benediktus XVI telah damai dalam hadirat Tuhan yang dia layani dalam Gereja sepanjang hidupnya. Selamat jalan Paus Emeritus Benediktus XVI. Requiem aeternam dona eis Domine et lux perpetua luceat eis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com