Sekitar empat pekan lalu, saya mendapat telepon dari Qatar, tempat kantor perwakilan politik gerakan bersenjata Taliban. Isinya, para pemimpin Taliban ingin bertemu Jusuf Kalla (JK) dan saya, sesegera mungkin.
Saya lapor ke JK.
Ok, katanya meyakinkan. Kebetulan memang, ada rencana ke Eidenberg akhir September untuk menghadiri seminar tentang Afghanistan. Dari sana, kami rencanakan ke Qatar.
Dinamika politik berlangsung cepat. Pertemuan tersebut tidak terjadi. Taliban kini memenangi pertarungannya dengan Amerika Serikat dan pemerintah Afghanistan.
Belakangan saya tahu, keinginan Taliban untuk bertemu JK dan saya, motifnya tunggal. Para pemimpin Taliban menginginkan kami menjembatani dirinya dengan pemerintah Afghanistan yang dipimpin oleh Ashraf Gani. Maklum, hubungan keduanya kian meruncing.
Taliban hendak menyampaikan pesan ke kami untuk meyakinkan Ashraf Gani bahwa sebentar lagi Taliban akan memenangkan pertarungan. Ada baiknya pemerintah Afghanistan bersiap menerima realitas itu, dan mencoba tidak stagnan dalam posisi pada negosiasi damai yang sedang berlangsung.
Empat hari sebelum Kabul, ibu kota Afganistan, jatuh ke tangan Taliban, wakil pemerintah Afghanistan, juga datang menemui JK. Tujuannya satu, JK diminta untuk sesegera mungkin bergerak menjadi jembatan antara pemerintah Afganistan dan Taliban.
JK selalu siap, namun terkendala oleh pandemi Covid yang mengekang dinamika pergerakan badan. Di saat yang berbarengan, roda politik tetap berputar kencang. Tidak bisa dihentikan karena Amerika Serikat juga sudah mengeras untuk hengkang dari Afganistan.
Sekarang, secara de facto, Taliban berkuasa lagi di Afghanistan. Pemerintah Kanada menolak mengakui pemerintahan Taliban. Negara lain ada yang diam, ada juga yang mengakuinya.
Dari perspektif hukum internasional, kita seyogyanya membedakan antara pengakuan kepada negara Afghanistan dengan pengakuan terhadap pemerintahan Afghanistan. Dalam praktik hukum dan hubungan internasional, pengakuan terhadap negara hanya sekali diberikan, tidak boleh dicabut.
Pengakuan terhadap pemerintah, bisa berkali-kali diberikan atau pun dicabut. Persyaratan yuridis untuk mengakui keberadaan sebuah negara, sangat berat, sebagaimana yang dirumuskan dalam Konvensi Monteviedo: harus ada wilayah, penduduk, pemerintahan yang efektif, dan pengakuan dari negara lain.
Pengakuan terhadap pemerintah, sifatnya lebih banyak ke masalah kebijakan pemerintah yang mau mengakui atau menolaknya. Ini sungguh-sungguh titik beratnya ada pada pertimbangan politis belaka.
Ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan dan membentuk pemerintahan boneka Komunis yang dipimpin oleh Babrak Kamal pada tahun 1979, Indonesia protes. Saat itu, pemerintah Indonesia menarik Dubesnya dari Kabul.
Lambat laun, hubungan diplomatik tersebut pulih kembali. Ini menandakan bahwa pengakuan terhadap pemerintahan sebuah negara, itu sungguh-sungguh lebih banyak didasari atas pertimbangan politik.
Masalahnya, perubahan pemerintahan di sebuah negara, sama sekali tidak memengaruhi, misalnya, keanggotaan negara tersebut di badan-badan internasional.
Lantaran pengakuan terhadap pemerintah lebih banyak penekanannya pada aspek politik, maka pemerintahan Taliban sekarang harus kerja ekstra untuk menihilkan gambaran buram dunia internasional tentang dirinya. Maklum, Taliban selalu memperoleh stigma anti hak asasi manusia, tidak toleran dengan perbedaan, tidak menyenangi demokrasi, dan sebagainya.