BERNALAR kritis merupakan salah satu dari enam ciri profil pelajar Pancasila. Hal ini mensyaratkan 3,37 juta guru di Indonesia sudah menguasai keterampilan bernalar kritis.
Jika tidak semua guru, setidaknya guru ilmu sosial dan ilmu agama harus mampu berpikir kritis.
Namun nampaknya, para guru masih bingung membedakan dua konsep ini, berpikir logis dan berpikir kritis. Wajar, karena keduanya datang dari dunia filsafat.
Sementara itu, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Tarbiyah di Indonesia umumnya sangat sedikit bersentuhan dengan filsafat.
Saya mengamati penjelasan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim di banyak kesempatan. Mas menteri mengira kedua keterampilan berpikir itu, logis dan kritis sama saja.
Dalam tradisi filsafat, keduanya dibedakan. Maka, cara menilai dan mengukur kemampuan berpikir logis dan berpikir kritis guru dan siswa niscaya harus dibedakan.
Para filsuf yang mempopulerkan istilah logis dan kritis ke ruang percakapan akademi dan percakapan publik juga beda-beda.
Peletak pertama rumusan berpikir logis adalah Aristoteles. Ia mempopulerkan aturan-aturan berpikir berdasarkan logika deduksi silogisme.
Lalu, Francis Bacon dan Jhon Stuart Mill dianggap dua orang paling berjasa dalam mempopulerkan aturan-aturan berpikir baru, disebut logika induksi emperisme. Belakangan, muncul Gottlob Frege menyusun aturan logika modern atau logika matematika.
Berbeda dengan konsep kritis, walaupun sudah digunakan di era Yunani kuno, namun kemasyhurannya dalam filsafat modern berada di tangan Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman.
Narasi kritis ini dirawat dalam tradisi marxisme, lalu diperbaiki dan dipopulerkan lebih luas oleh mazhab Frankfurt, terutama generasi Habermas.
Pemikir paling berpengaruh yang membawa teori kritis ke dunia pendidikan adalah Paolo Freire, Guru Besar pendidikan asal Brasil. Freire memperkenalkan pedagogi kritis lengkap dengan metode praktis memandu proses pembelajarannya.
Jadi jelas, berpikir logis dan berpikir kritis adalah dua cerita yang berbeda, dua kemampuan yang berbeda, dan dua kebutuhan yang berbeda.
Idealnya, semua guru pertama-tama harus menguasai kemampuan berpikir logis, lalu dilanjutkan dengan kemampuan berpikir kritis.
Meskipun, guru Ilmu Pengetahuan Alam tidak membutuhkan kemampuan berpikir kritis pada tingkat yang sama dengan guru Ilmu Pengetahuan Sosial.