Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berbenah Nalar Guru, dari Logis Menuju Kritis

Jika tidak semua guru, setidaknya guru ilmu sosial dan ilmu agama harus mampu berpikir kritis.

Namun nampaknya, para guru masih bingung membedakan dua konsep ini, berpikir logis dan berpikir kritis. Wajar, karena keduanya datang dari dunia filsafat.

Sementara itu, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Tarbiyah di Indonesia umumnya sangat sedikit bersentuhan dengan filsafat.

Saya mengamati penjelasan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim di banyak kesempatan. Mas menteri mengira kedua keterampilan berpikir itu, logis dan kritis sama saja.

Dalam tradisi filsafat, keduanya dibedakan. Maka, cara menilai dan mengukur kemampuan berpikir logis dan berpikir kritis guru dan siswa niscaya harus dibedakan.

Para filsuf yang mempopulerkan istilah logis dan kritis ke ruang percakapan akademi dan percakapan publik juga beda-beda.

Peletak pertama rumusan berpikir logis adalah Aristoteles. Ia mempopulerkan aturan-aturan berpikir berdasarkan logika deduksi silogisme.

Lalu, Francis Bacon dan Jhon Stuart Mill dianggap dua orang paling berjasa dalam mempopulerkan aturan-aturan berpikir baru, disebut logika induksi emperisme. Belakangan, muncul Gottlob Frege menyusun aturan logika modern atau logika matematika.

Berbeda dengan konsep kritis, walaupun sudah digunakan di era Yunani kuno, namun kemasyhurannya dalam filsafat modern berada di tangan Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman.

Narasi kritis ini dirawat dalam tradisi marxisme, lalu diperbaiki dan dipopulerkan lebih luas oleh mazhab Frankfurt, terutama generasi Habermas.

Pemikir paling berpengaruh yang membawa teori kritis ke dunia pendidikan adalah Paolo Freire, Guru Besar pendidikan asal Brasil. Freire memperkenalkan pedagogi kritis lengkap dengan metode praktis memandu proses pembelajarannya.

Jadi jelas, berpikir logis dan berpikir kritis adalah dua cerita yang berbeda, dua kemampuan yang berbeda, dan dua kebutuhan yang berbeda.

Idealnya, semua guru pertama-tama harus menguasai kemampuan berpikir logis, lalu dilanjutkan dengan kemampuan berpikir kritis.

Meskipun, guru Ilmu Pengetahuan Alam tidak membutuhkan kemampuan berpikir kritis pada tingkat yang sama dengan guru Ilmu Pengetahuan Sosial.

Namun seluruh guru tidak boleh tidak, harus menguasai kemampuan berpikir logis. Karena seluruh cabang ilmu pengetahuan punya ketergantungan tinggi pada logika.

Bahkan Ilmu Agama batal menjadi ilmu jika tidak tunduk pada aturan-aturan logika. Termasuk pengalaman mistisisme kaum sufi atau pertapa meditasi dalam tradisi agama berbeda pada akhirnya tunduk pada aturan logika ketika pengalaman itu mulai dikomunikasikan dalam ruang diskursus akademi dan ruang publik.

Bagaimana berpikir logis?

Sederhanya, berpikir logis diukur dari tingkat kesesuaian pikiran dengan logika. Logika, suatu ilmu yang menyediakan himpunan aturan untuk memandu manusia berpikir lurus dan menghindarkan manusia dari kesalahan berpikir (falasi).

Dalam logika, bahasan utamanya dua bagian. Pertama, memperjelas gagasan (konsep) yang sedang dibicarakan. Pada bagian ini, logika memastikan konsep yang sedang dibahas dapat didefinisikan dengan benar sesuai aturan-aturan definisi.

Definisi itu usaha membatasi makna dari sebuah konsep. Jika makna dari satu konsep tak dapat dibatasi, minimal dapat dibedakan dari makna konsep lain.

Seperti membedakan kerbau dan sapi dalam genus hewan, atau membedakan demokrasi dan monarkhi dalam genus sistem politik.

Selain kerja-kerja definisi, pada bagian pertama logika juga mengatur aturan-aturan kategorisasi dan klasifikasi sebuah konsep. Ditambah panduan praktis menemukan jenis-jenis hubungan antara dua konsep.

Ada banyak kemungkinan jenis hubungan antar-konsep, seperti hubungan kesamaan, hubungan irisan, hubungan sebagian dan keseluruhan, hubungan perbedaan, dan hubungan pertentangan (kontradiksi).

Bagian kedua dari logika adalah membuktikan penegasan atau putusan (justifikasi). Seperti membuktikan demokrasi adalah sistem politik terbaik atau membuktikan campuran senyawa beberapa unsur kimia tertentu dapat menghasilkan obat kanker tanpa efek samping.

Pada bagian pembuktian, logika menawarkan metode penalaran yang berbeda-beda. Aristoteles menawarkan empat bentuk penalaran deduksi silogisme untuk menghasilkan kesimpulan yang benar.

John Stuart Mill menawarkan lima motode penalaran induksi emperisme untuk menghasilkan kesimpulan yang valid.

Dalam teknik pembuktian logika, baik deduksi maupun induksi, kesimpulan haruslah datang dari beberapa premis sandaran sebelumnya. Paling sedikit dibuktikan dari hubungan dua premis sebelumnya.

Dalam deduksi, salah satu premis pembuktian haruslah premis universal, sisanya berbentuk pernyataan partikular. Hubungan dari premis-premis menghasilkan kesimpulan partikular.

Dalam logika induksi, penalaran dimulai dari premis-premis partikular berakhir pada kesimpulan dengan dua kemungkinan, kesimpulannya tetap partikular untuk induksi analogi atau kesimpulannya berbentuk pernyataan universal untuk induksi generalisasi.

Pembuktian dalam logika induksi bisa dua kemungkinan. Pembuktikan untuk membenarkan andaian hipotesa, disebut verifikasi. Bisa juga pembuktian untuk membatalkan hipotesa. Membatalkan sebagian atau keseluruhannya, dinamai sebagai proses falsifikasi.

Begitulah berpikir logis bekerja. Memberi penjelasan dan pembuktian dengan aturan-aturan yang sudah pakem.

Seluruh ilmu, dari filsafat, rumpun ilmu sosial, rumpun ilmu alam, dan rumpun ilmu agama tumbuh berkembang dalam aturan main berpikir logis.

Menuju berpikir kritis

Setelah semua guru menguasai kemampuan berpikir logis, maka sebagian guru harus didorong untuk mampu bernalar kritis.

Setelah membaca Kant sampai Habermas dan Freire, saya berkesimpulan paling tidak ada tiga kemampuan inti dalam berpikir kritis. Ialah perenungan (refleksi) kritis, penguraian (analisis) kritis, dan penegasan (justifikasi) emansipatoris.

Perenungan kritis untuk mempertanyakan ulang tradisi dan keyakinan lama. Seperti kata Heidegger, cara manusia memahami realitas, baik realitas dalam peristiwa maupun dalam teks, cenderung dikuasai oleh tradisi dan keyakinan otoritatif di mana manusia itu tumbuh dan hidup.

Maka, perenungan kritis diperlukan, bukan sekadar menggugat, tetapi mencarikan penjelasan baru dan pembuktian baru atas realitas yang sudah terlanjur diyakini lama dalam masyarakat.

Perenungan kritis dilanjutkan dengan analisis kritis. Suatu analisis dapat disebut kritis jika mampu membongkar relasi-relasi kuasa yang membentuk peristiwa dan pembentuk sebuah teks. Relasi kuasa, tidak melulu politik, ekonomi, atau ekonomi politik (ekopol).

Pengetahuan sendiri membentuk relasi kuasa. Kasih sayang, bantuan, afeksi, dan perhatian-
perhatian dalam relasi paling personal pun membentuk relasi kuasa. Di mana-mana, di ruang publik dan domestik, relasi kuasa pasti bekerja membentuk peristiwa, pikiran, dan teks.

Setelah analisis kritis dilakukan, berpikir kritis harus dilengkapi dengan pernyataan dan tindakan emansipatoris (pembebasan).

Relasi kuasa tak adil gender misalnya, dalam budaya patriarkhi bisa diungkap melalui analisis kritis, tapi harus dikurangi dan dihilangkan melalui penegasan dan tindakan emansipatoris.

Jika guru belum mampu berpikir kritis, bagaimana mungkin penalaran kritis dapat dibekali pada pelajar Pancasila?

Kemendikbud Ristek sepatutnya merancang program khusus lebih serius melatih guru Indonesia berpikir logis dan berpikir kritis. Dengan begitu, Indonesia benar-benar mencapai merdeka belajar!

https://www.kompas.com/edu/read/2023/08/23/080000771/berbenah-nalar-guru-dari-logis-menuju-kritis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke