KOMPAS.com - Media sosial TikTok disebut-sebut menjadi sarang penyebaran misinformasi jelang pemilihan umum sela Amerika Serikat atau midterm election pada Selasa (8/11/2022).
Temuan ini berdasarkan hasil penelitian organisasi independen non-pemerintah Global Witness bersama New York University, dikutip dari AFP.
Hal tersebut dinilai mengkhawatirkan karena semakin banyak anak muda yang menggunakan TikTok sebagai sumber informasi dan berita.
Baca juga: TikTok Akui Karyawannya di China Bisa Akses Data Pengguna Eropa
TikTok disebut menjadi sarang informasi palsu terkait pemilu, termasuk klaim kecurangan pemilih, kebohongan tentang surat suara, dan video menyesatkan soal undang-undang negara bagian.
Studi itu juga menemukan bahwa TikTok menyetujui iklan politik berbayar yang dengan jelas mengandung misinformasi.
"Hacker dapat dengan mudah mengubah hasil pemilu! Jangan repot-repot memilih pada midterm election," demikian bunyi salah satu iklan yang beredar di TikTok.
Iklan tersebut dibuat oleh para peneliti di Global Witness dan New York University untuk menguji larangan TikTok pada posting politik berbayar.
Platform media sosial tersebut menyetujui sebanyak 90 persen iklan berisi misinformasi pemilu yang dibuat oleh tim peneliti untuk pengujian.
"Kami cukup terkejut dengan hasil itu," kata Jon Lloyd, penasihat senior di Global Witness.
Baca juga: Staf TikTok di China Bisa Mendapat Akses Data ke Pengguna Eropa
Menurut Lloyd, TikTok berada di kasta terbawah di antara platform media sosial lainnya dalam hal penanganan misinformasi pemilu.
Temuan mengkhawatirkan ini bertepatan dengan lebih dari delapan juta warga muda AS yang baru memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilu sela tahun ini.
Perusahaan induk TikTok, ByteDance yang berbasis di Beijing, memiliki aturan yang bertujuan membatasi penyebaran teori konspirasi tentang pemilu. Namun para ahli mempertanyakan seberapa efektif aturan tersebut.
"Hanya karena mereka memiliki kebijakan ini, itu tidak berarti bahwa mereka ditegakkan dengan baik," kata Lloyd.
Dia mengatakan, lemahnya penegakan kebijakan ini disebabkan model bisnis TikTok yang didasarkan pada "mengamplifikasi dan mendorong pengguna" untuk mengonsumsi konten.
Hasil survei Pew Research Center menemukan lebih dari seperempat orang Amerika berusia 18-29 tahun secara teratur mendapatkan berita dari TikTok.