KOMPAS.com - Media online di Indonesia tergolong minim disinformasi berdasarkan riset tarbaru Global Dinsinformation Index (GDI).
Bekerja sama dengan Asia Research Centre Universitas Indonesia (ARC UI), riset ini meninjau 38 situs yang dijadikan sampel terkait sebaran informasi keliru yang disengaja atau disinformasi.
Sampel ditentukan berdasarkan jangkauan situs melalui peringkat Alexa, pengikut Facebook dan Twitter, relevansi, dan kemampuan situs untuk mengumpulkan data lengkap.
Hasilnya, 87 persen sampel menunjukkan tingkat disinformasi minimum atau rendah.
Lanskap media di Indoensia berubah seiring era reformasi. Tidak seperti Orde Baru, Indonesia kini memiliki banyak perusahaan media, dari sejumlah kecil outlet media nasional, hingga media yang dimiliki pribadi atau konglomerat media.
Peneliti senior ARC UI yang terlibat dalam riset ini, Endah Triastuti atau akrab disapa Titut, mengungkapkan bahwa lanskap kepemilikan media dapat mendorong adanya diinformasi.
"GDI sendiri punya frame word yang beragumen bahwa kebanyakan disinformasi ini dilatarbelakangi oleh pendanaan," ujar Titut dalam webinar Risiko Disinformasi pada Media Daring di Indonesia, Senin (24/10/2022).
GDI menilai bahwa transparansi kepemilikan dan pendanaan media menjadi indikator penting untuk mencegah adanya disinformasi.
Hal itu karena sumber pendanaan dan kepemilikan media dapat membawa pengaruh politik dan ideologi tertentu dalam pemberitaan.
"Sebelumnya, GDI mengidentifikasi bahwa disinformasi ini terjadi karena ada kepentingan politik, ideologi yang mendanai industri berita," ujar Titut.
Riset ini menemukan disinformasi, salah satunya dalam bentuk iklan atau narasi yang mengisyaratkan adanya kepentingan.
Riset ini mengamati indeks konten dan operasi, yang masing-masing mengukur kualitas dan keandalan konten situs serta integritas operasional dan editorialnya.
Sebagian besar media online di Indonesia dinilai kurang dalam transparansi kebijakan operasional dan editorial, yang dapat meningkatkan risiko disinformasi.
"Yang disebut dengan transparansi informasi di dunia digital, bukan hanya transparansi informasi berita, tetapi juga informasi kepemilikan, funding, proses kurasi, check dan recheck," ujar Titut.
Dari sampel yang diteliti, sebanyak delapan situs memiliki risiko disinformasi yang minimum. Sementara, 18 situs lainnya dinilai berisiko rendah terhadap disinformasi.
Kendati demikian, ditemukan lebih dari 80 persen sampel kerap mendaur ulang artikel berita atau sebagian besar bukan liputan terbaru (isu sudah lebih dari 30 hari).
GDI menilai publikasi mendaur ulang artikel berita lama semacam ini dapat meningkatkan risiko disinformasi.
Secara keseluruhan, media online di Indonesia baik untuk konten non-sensiasional, tetapi kurang memiliki pengecekan dan keseimbangan operasional yang dinilai penting untuk menjalankan ruang redaksi yang independen dan akutntabel.
"Kami menemukan bahwa portal-portal ini memiliki celah yang cukup banyak untuk perbaikan operasional pilarnya, terutama dalam hal transparansi struktur keuangan yang diinformasikan kepada publik," kata Titut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.