Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Ahli ITB soal Penyebab Erupsi Gunung Semeru: Akumulasi dari Letusan Sebelumnya

Kompas.com - 05/12/2021, 20:45 WIB
Maulana Ramadhan

Penulis

KOMPAS.com - Erupsi Gunung Semeru terjadi pada Sabtu (4/12/2021), sekitar pukul 14.50 WIB. Gunung tertinggi di Pulau Jawa itu bererupsi dengan mengeluarkan guguran lava dan awan panas.

Ahli Vulkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman mengatakan, material aliran lahar di Gunung Semeru merupakan akumulasi dari letusan sebelumnya yang menutupi kawah.

“Terkikisnya material abu vulkanik yang berada di tudung gunung tersebut membuat beban yang menutup Semeru hilang sehingga membuat gunung mengalami erupsi,” kata Mirzam dalam keterangan tertulisnya, Minggu (5/12/2021).

Baca juga: Ahli Vulkanologi ITB Jelaskan Penyebab Erupsi Gunung Semeru

Dikutip dari Magma Indonesia, visual letusan Gunung Semeru tidak teramati, namun erupsi terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 25 mm dan durasi 5.160 detik.

Mirzam menambahkan, ketika terjadi erupsi warga cenderung tidak merasakan gempa, tetapi aktivitas Gunung Semeru terekam seismograf. Menurutnya, hal itu dikarenakan material yang berada di dapur magma sedikit.

Penyebab gunung api meletus

Dosen Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) itu menjelaskan, terdapat beberapa hal yang bisa menyebabkan gunung api meletus. Di antaranya yakni:

  1. volume di dapur magma sudah penuh,
  2. longsoran di dapur magma karena pengkristalan, dan
  3. longsoran di atas dapur magma.

“Faktor yang ketiga ini sepertinya yang terjadi di Semeru. Jadi ketika curah hujannya cukup tinggi, abu vulkanik yang menahan di puncaknya baik dari akumulasi letusan sebelumnya, terkikis oleh air, sehingga gunung api kehilangan beban meskipun isi dapur magmanya sedikit yang bisa dilihat dari aktivitas kegempaan yang sedikit, Semeru tetap bisa erupsi,” ungkap Mirzam

Lebih lanjut Mirzam mengatakan, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung api aktif tipe A. Karena itu, berdasarkan data dan pengamatan yang dilakukan, Mirzam menyimpulkan, Gunung Semeru memiliki interval letusan jangka pendek satu sampai dua tahun.

Seperti diketahui, sebelum erupsi pada Sabtu kemarin, terakhir kali Gunung Semeru meletus adalah pada Desember 2020 lalu.

Baca juga: BNPB Kirim 20.000 Masker untuk Masyarakat Terdampak Erupsi Gunung Semeru

“Letusan kali ini, volume magmanya sebetulnya tidak banyak, tetapi abu vulkaniknya banyak sebab akumulasi dari letusan sebelumnya,” jelasnya.

Di sisi lain, menurutnya arah letusan Gunung Semeru bisa diprediksi, yaitu ke tenggara. Hal itu karena mengacu pada peta geologi Semeru, bidang tempat lahirnya gunung ini tidak horizontal tetapi miring ke arah selatan.

“Kalau kita mengacu pada letusan 2020, arah abu vulkaniknya itu cenderung ke arah tenggara dan selatan karena anginnya berhembus ke arah tersebut begitu juga dengan aliran laharnya karena semua sungai yang berhulu ke Puncak Semeru semua mengalir ke arah selatan dan tenggara,” tutur Mirzam.

Dirinya mengindikasikan abu vulkanik Gunung Semeru cenderung berat yang ditandai dengan warnanya yang abu-abu pekat. Hal tersebut terlihat dari visual di puncak Gunung Semeru.

Baca juga: Bukan Hanya Gunung Semeru, Ini Daftar Gunung Berapi Aktif di Indonesia yang Berstatus Waspada dan Siaga

Sehingga, kata dia, ketika letusan sebelumnya terjadi, abu vulkaniknya jatuh menumpuk hanya di sekitar area puncak, ini yang menjadi cikal bakal melimpahnya material lahar pada letusan kemarin.

(Sumber:Kompas.com/Kontributor Bandung, Dendi Ramdhani | Editor: Dheri Agriesta)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com