Nadia memaparkan, total kasus TBC aktif yang ditemukan saat ini mencapai 809.000 kasus.
Sebanyak 681.000 orang di antaranya telah menjalani pengobatan dan perawatan untuk mengatasi serta memutus rantai penularan.
"Jadi ada kasus yang sudah positif, tetapi tidak bisa ditemukan untuk memulai pengobatan, sehingga bisa menjadi potensi penularan di masyarakat," terangnya.
Penularan dari infeksi yang tidak ditemukan inilah yang berpotensi meningkatkan kasus tuberkulosis di Indonesia.
Baca juga: Gejala dan Penyebab TBC, Penyakit yang Dialami Ratusan Anak di Bantul
Orang yang terinfeksi bakteri ini biasanya akan mengalami sejumlah gangguan pernapasan, termasuk batuk kronis dan sesak napas.
Penderita TBC juga berpotensi mengalami gejala lain, seperti demam dan berkeringat pada malam hari.
Menurut Nadia, menemukan kasus dan mengobati pasien sampai sembuh merupakan upaya untuk menghentikan penularan TBC, sehingga kasus tidak melonjak.
Kemenkes pun gencar melakukan penelusuran terhadap kasus aktif agar penanggulangan dan pencegahan lebih cepat dilaksanakan.
"Misalnya, kalau ada anak yang terkena TBC maka orang tuanya atau orang sekitar dilakukan pemeriksaan," ujarnya.
Bukan hanya itu, pemberian terapi pencegahan TBC pada orang-orang yang melakukan kontak dengan pasien pun perlu untuk dilakukan sebagai upaya pencegahan.
Dikutip dari laman Kemenkes, siapa pun orang yang berada di dekat pasien TBC, dapat terkena dampaknya.
Namun, kelompok yang paling berisiko adalah anak-anak, penderita HIV/AIDS, lansia, penderita diabetes melitus, serta perokok aktif.
Penyakit ini akan menyerang sistem kekebalan tubuh, terutama yang mengalami penurunan daya tahan tubuh.
Selain itu, risiko penularan TBC juga cukup besar pada orang yang tinggal di kawasan tidak memenuhi syarat kesehatan, seperti lingkungan padat dan kumuh.