Situasi semakin memanas saat tokoh komunis Indonesia yang pernah belajar di Uni Soviet, Musso, kembali ke Indonesia.
Saat kembali itulah, Musso lalu membentuk badan baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri.
Amir dan Musso bersama kelompok mereka lantas melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebarkan paham komunis.
Masuk bulan September 1948, pemerintah dan golongan sayap kiri melancarkan aksi saling culik.
Hingga pada akhirnya, Madiun di Jawa Timur menjadi daerah yang tersisa sebagai benteng terakhir FDR.
Hal itu membuat pimpinan FDR lokal di Madiun khawatir sehingga pecah pemberontakan pada 18 September 1948.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pembantaian terhadap 2.000 Orang Asing di Kremlin, Rusia
Pada 18 September 1948 pukul 03.00 pagi, FDR Madiun mulai merebut pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara yang dipimpin oleh Sumarsono dan Djoko Sujono.
Dalam serangan ini, terdapat dua perwira yang tewas terbunuh dan empat orang terluka. Hanya dalam hitungan jam, Madiun sepenuhnya sudah berhasil dikuasai FDR.
Dua anggota FDR yaitu Setiadjit dan Wikana mengambil alih pemerintahan sipil dan membentuk Front Pemerintah Nasional Daerah Madiun.
Setelah mendengar apa yang terjadi, Musso dan Amir menuju Madiun untuk mendiskusikan situasi bersama Sumarsono, Setiadjit, dan Wikana.
Pada 19 September 1948 malam, Presiden Soekarno menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan Musso sudah membentuk Republik Soviet Indonesia.
Di malam yang sama, Musso menyatakan perang terhadap Indonesia dengan menuding Sukarno dan Hatta menjadi budak imperialisme Amerika dan pengedar Romusha.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 6 Desember 1928, Pembantaian Buruh Perkebunan Pisang di Kolombia
Akan tetapi, beberapa pemimpin FDR justru memutuskan untuk tidak memihak dengan Musso dan menyatakan kesediaan untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia.
Mereka juga melakukan siaran melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukan kudeta, melainkan upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.
Sayangnya, pemerintah Indonesia terlihat abai terhadap upaya FDR untuk mengakhiri konflik yang terjadi saat itu.
Pemerintah justru menggunakan kesempatan ini untuk menghilangkan sayap kiri di Indonesia.
Pihak pemerintah lantas mengirimkan Brigade Siliwangi Letkol Sadikin untuk mengerahkan pasukannya dan menguasai Madiun.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pembantaian My Lai, Vietnam, Tewaskan 504 Warga Sipil
Untuk menghindari konflik dengan TNI, FDR/PKI pun mundur ke pegunungan di sekitar Madiun.
Di bawah komando Amir, mereka melarikan diri dari Madiun dan menuju ke sebuah desa kecil bernama Kandangan, tempat di mana mereka menemukan amunisi dan senjata.
Namun, ternyata desa itu sudah diduduki oleh Batalion Divisi Sungkono yang dipimpin oleh Mayor Sabarudin.
Pada 28 Oktober 1948, pemerintah menangkap 1.500 orang. Setelah itu, Musso berhasil ditembak mati pada 31 Oktober 1948 ketika sedang bersembunyi di kamar kecil.
Sebulan kemudian, 29 November, Djoko Sujono dan Maruto Darusman juga ditangkap. Amir pun tak luput ikut tertangkap pada 4 Desember 1948.
Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan tokoh FDR lain dieksekusi pada 19 Desember 1948. Hal itu menjadi tanda pemberontakan berhasil dipadamkan.
Disebutkan, jumlah korban dalam peristiwa PKI Madiun diperkirakan sekitar 24.000 orang. Sebanyak 8.000 orang di antaranya dari Madiun, 4.000 di Cepu, dan 12.000 di Ponorogo.
Pemberontakan ini juga menewaskan Gubernur Jawa Timur saat itu, RM Suryo, serta beberapa tokoh lainnya.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Pembantaian 800 Penduduk di El Mozote
(Sumber: Kompas.com/Verelladevanka Adryamarthanino, Serafica Gischa | Editor: Nibras Nada Nailufar)