Oleh: Rangga Septio Wardana dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Musik merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pasalnya, musik adalah salah satu karya seni yang dapat menjadi penyalur emosi dan ekspresi diri setiap orang.
Sama halnya dengan industri budaya lain, industri musik terus mengalami perubahan seiring dengan disrupsi digital yang kian matang. Bermula dari era konvensional yang semuanya serba analog, hingga diambil alih oleh para pemilik platform digital.
Lantas bagaimana nasib musisi yang sejatinya menjadi jantung industri musik? Hal ini pun menjadi keresahan bagi grup band Gigi. Bersama Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi Kompas.com, mereka membagikan aspirasinya dalam siniar Beginu bertajuk “30 Tahun Gigi, Tentang Harapan dan Industri Musik yang Berdampak”, dengan tautan akses dik.si/BeginuGigiP2.
Meski saat ini tren K-pop tengah menjamur di seluruh dunia, tetapi tak meruntuhkan semangat musisi lokal untuk terus berkarya. Hal itu pun membawa dampak positif bagi industri musik tanah air.
Dalam laporan Engaging with Music 2022, menyebutkan bahwa para pendengar musik di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 27,2 jam untuk mendengarkan musik setiap pekan.
Baca juga: Alasan Fans K-Pop Sering Kena Tipu Tiket Konser
Lagu-lagu pop Indonesia menjadi pilihan teratas disusul rock, klasik, R&B, jazz, dan K-pop. Artinya, musik Indonesia masih punya taring untuk bersaing dengan gelombang musik Korea.
Jika mengacu pada selera pendengar musik Indonesia, urutan genre musik terfavorit adalah pop, rock, hip-hop, dance/electronic, latin, klasik, R&B, country, dan reggae.
Dilansir dari Hai Magazine, sidestream secara harfiah berarti arus pinggir. Jika melihat kembali ke era 80-an, pergerakan arus pinggir musik Indonesia diawali oleh kehadiran band, Roxx, Rotor, dan Suckerheads yang menjadi penggerak skena musik sidestream.
Arus tersebut tak berhenti begitu saja, di era 90-an musik britpop dan punk muncul ke permukaan. Britpop dan punk memengaruhi anak muda untuk mengadakan gigs di bar dan kafe agar bisa menampung musik mereka.
Di era ini istilah indie sebagai singkatan dari independen menjadi suatu yang lumrah. Pada awal 2000-an, industri musik mulai bergerak untuk menciptakan pasarnya sendiri, seperti Aksara Records yang melahirkan band-band seperti Sore, The Adams, The Brandals, hingga White Shoes & the Couples Company.
Mereka menjadi salah satu pionir skena musik sidestream yang mewadahi segala macam cara unik dalam bermusik.
Semenjak munculnya berbagai platform streaming, akses untuk menikmati musik menjadi lebih mudah. Melalui kekuatan algoritma dan distribusi tanpa batas, platform streaming menjadi kekuatan baru yang mengontrol industri budaya, termasuk musik era digital.
Selain itu, kehadiran TikTok sebagai salah satu jejaring sosial berbasis konten musik pun mampu memengaruhi tren musik. Namun, pada kenyataannya royalti yang dihasilkan dari platform streaming masih relatif kecil dan tak sebanding dengan usaha musisi dalam berkarya.
Segenap pegiat musik Indonesia sebetulnya memiliki pekerjaan rumah yang sangat penting, yaitu mengajak segenap musisi Indonesia lebih paham akan hak-hak akan karyanya. Pasalnya, musisi dan pendengar adalah jantung industri musik.
Baca juga: Keresahan Dian Sastro terhadap Dunia Pendidikan Indonesia